Dan "Selamat ulang tahun ya sayang"
Aku terenyuh sambil merasa heran, siapa yang ulang tahun?
Setelah pertengkaran yang tidak ada habisnya selama setahun ini, bahkan sampai hari inipun masih saja cekcok, akhirnya aku tau banyak alasan dalam hidup yang harus dipertahankan sekalipun tidak dalam bentuk hal manis. Banyak waktu berlalu, banyak moment yang terlewat tanpa kamu sembilan belas tahun kebelakang, namun rasanya terganti dengan satu tahun ini. Selamat hari jadi ya sayang, orang bilang angka sembilan itu melambangkan kesempurnaan--semoga kita berdua juga akan saling melengkapi satu sama lain, AMIN.
with love, me! :)
09-09-12.
Senin, 09 September 2013
Sabtu, 09 Maret 2013
Saat itu semua seperti berjalan semestinya.
Seolah
tau bagaimana caranya merasakan duka, angin itu buru-buru bergegas, merangkak
bersama sepi yang terjebak cakrawala. Akupun sadar bahwa tidak ada yang menang
dari perpisahan ini selain air mata jatuh lalu menyeret langkahku hingga
terseok seok ditepian lambaian tanganmu. Kaupun mungkin tidak akan paham
sepaham aku mengerti perasaan sakit akibat perpisahan, namun aku tau jika
guratan cemas dimatamu tidak akan pernah berdusta, ya aku tau jika kaupun
merasa ada yang sesaat hilang dari sisimu—sesuatu yang menguap bersama mataku
yang tak lagi menjamah siluet hitam rambutmu.
Kau
ingat? Kemarin baru saja kukatan ‘aku kembali’
lalu kupeluk satu persatu rindu, membiarkan hujan jatuh disini, mengasingkan
pertanyaan ‘kapan waktu merenggut kita lagi?’
seperti saat ini. Namun, sejauh apapun kita mengelak, Tuhan selalu tau cara
agar rencananya berjalan seirama. Kau dan aku mesti membentang jarak dan inilah
kenyataannya—tidak ada yang bisa aku ubah juga tidak ada yang dapat kau
hentikan, semuanya mengalir dinadiku juga nadimu. Takdir sudah dilempar seperti
sebuah dadu dalam permainan monopoli dan kita seperti sepasang sepatu yang
tertinggal sebelah dilemari baju, hanya menunggu saat untuk bertemu lalu
kembali berjalan menyusuri waktu.
Kau
ingat dua pertemuan singkat selepas hujan? Kau dan aku pernah ada pada satu
momen disana, merangkai hujan menjadi selimut tebal diruang tamu, menyaksikan
mendung menggumpal seperti kepulan asap pada cangkir kopi kita. Saat itu semua
seperti berjalan semestinya, tidak ada cela ataupun kekhawatiran akan
perpisahan. Pada detik itu kita hanya sama-sama tau cara menjatuhkan rindu
berbentuk domino, lalu menyusunnya kembali saat kuantar kau pulang selepas
maghrib—tentu untuk bertemu secepat mungkin. Sungguh, jika saja dapat aku
ucapkan beberapa doa—aku ingin bersamamu seperti ini tanpa harus mengurai
perpisahan lagi.
Kamis, 07 Maret 2013
Tiba-tiba memikirkannya
7 Maret 2013
RS
Praktek pertama teknik pola, tiba-tiba saja jadi serius
memikirkan cara membuat initial namanya—sungguh ajaib.
Sekalipun susah payah membentuk huruf ‘S’ itu supaya bisa
menjadi bentuk huruf ‘S’ yang lebih gentle, yah tapi cukup puas J
Tapi kok kamu tambahan terus ya? L
20 sudah
5 Maret 2013
Selamat datang usia dua puluh tahun, Alhamdulillah ternyata
Tuhan masih sangat baik memberi segala kesempatannya padaku hingga detik ini. Dan terimakasih untuk hadiahnya ya, itu benar-benar
salah satu yang paling aku inginkan J
14 Februari 2013
Ini coklat pertama yang kau berikan padaku—white chocolate
manis bercampur pait kacang almond. Ini valentine termanis sepanjang sembilan
belas tahun usia yang telah berlalu dan juga valentine terasing karena ada kamu
disisiku. Ya, ini semua benar-benar asing—kamu mungkin sudah membuat aku
mengerti bagaimana cara menikmati manisnya sebuah coklat dan aku juga sudah tau
bagaimana cara untuk lebih mencintaimu.
Senin, 25 Februari 2013
Cinta dan segumpal permen karet
Cinta itu kayak permen karet ya, kadang ga sengaja keinjek,
nempel disepatu, nempel ditangan, dipipi, dibaju atau dimanapun tempat itu. Permen
karet tetep permen karet, nempel, lengket
dan tentu aja susah buat dilepas,
dibersihin mungkin juga bakal terus ada bekasnya
(persis kayak sepatu gue yang ga bisa gue cuci selama lima tahun karena noda
bekas permen karet itu). Well, itu cinta menurut versi gue—permen karet!
Waktu gue smp gue pernah jatuh cinta sama satu cowo, namanya
dia. Dia temen seangkatan gue, juara olimpiade matematika (kalau ga
salah). Entah kenapa gue bisa suka sama cowo itu, kalau karena dia pinter—gue sama sekali gak yakin,
pasalnya cowo pinter itu dimata gue sama rata kayak cowo-cowo lainnya selama
dia ga punya attitude sebagus nilai matematikanya di rapot. Nah, parahnya, dia inilah sepatu gue yang ga bisa gue
cuci selama lima tahun itu—sepatu dengan noda permen karet dibagian depannya—cowo
pertama yang bikin gue terus berharap selama lima tahun. Dia yang sukses bikin cinta pertama gue penuh bekas noda permen
karet, ironis.
Hidup gue ga berhenti sampai situ, dua tahun setelah gue
lulus SMP, gue baru tau kalau dia mulai
suka sama cewe. Sebenernya ini bukan hal yang mengejutkan, justru diem-diem gue
seneng dalam hati sendiri—akhirnya gue punya
alasan buat nyerah. Tapi, lagi-lagi entah kenapa cewe itu juga punya alasan
buat bikin penderitaan ini makin sempurna— cewe itu mulai muncul dikehidupan
gue, bertanya tentang ini itu dan akhirnya suatu hari cewe itu pernah nanya
tentang hubungan gue sama dia dimasa
lalu, masa sebelum cewe itu kenal sama dia—finally,
cewe itu mukul bola tepat didepan muka gue dan gue cuma bisa pasrah ngejawab
semua pertanyaan itu. Kalau diinget-inget, kenapa cewe itu ga ngebiarin gue
ngelamun sendirian diteras rumah, main ujan-ujanan, mandi di shower dan setelah
itu minum coklat panas sambil liatin gerimis dari kaca jendela persis kayak
adegan mellow didrama korea, kenapa coba ga gitu? Setidaknya itu terlihat sedikit
lebih keren dari pada gue jadi cewe pasrah yang menguak cerita terburuk dalam
sejarahnya sendiri. Yah, tapi kesimpulan gue dari semua yang terjadi adalah
mungkin hidup ga akan seru tanpa itu—mungkin.
Tapi pada akhirnya gue jadi temen juga sama cewe itu, sampai
sekarang—sampai gue nulis ini gue masih tulus nganggep cewe itu temen gue dari
temen gue dan sama-sama temen gue, alah ribet. Sudahlah, toh gue udah ninggalin
cerita itu, ninggalin perasaan gue sama cowo bernama dia itu.
Sekarang, gue hidup sama orang baru, namanya Rio. Rio bisa
bikin gue sepuluh kali lebih baik dari dia,
mungkin karena satu kata ajaib yang kita punya, tentu aja ‘cinta’ . Ternyata memiliki seseorang yang sama-sama mencintai kita
itu mampu menebus semua rasa sakit gue selama lima tahun lalu, gue punya hidup
baru dan gue punya tujuan baru sekarang. Tuhan memang tau apa yang sebenernya
kita butuh, kalau aja lima tahun lalu gue sama dia mungkin gue ga pernah bisa sebahagia sekarang, kalaupun bisa
bahagia mungkin hanya sekedar bahagia, karena akhirnya gue tau kalau dia dan gue itu ga akan pernah bisa satu
jalan, kami berbeda jauh.
Mungkin pembahasan megenai Rio bisa gue lanjutin
kapan-kapan, karena masih banyak yang perlu disusun dan masih banyak part yang
belum lengkap.
Selasa, 29 Januari 2013
Sebuah isyarat
Aku mungkin bukan sebuah isyarat yang dibawa Tuhan untuk
berdampingan denganmu. Mungkin saja aku hanya selembar kertas kusam dengan
tanda silang dipermukaannya, tanda bahwa batas sakral akan terlewati olehmu
jika berada bersamaku. Namun, Tuhan pasti tau bagaimana perasaan-perasaan tanpa
batas ini muncul diantara kita. Dia juga tidak akan berpura-pura lupa untuk
alasan apa kita berdua dipertemukan, entah untuk bahagia bersama atau hanya
untuk belajar bagaimana caranya memiliki dan melepaskan, ah—aku juga tidak tau
mengenai rencana Tuhan yang satu itu. Hanya saja, gelas sudah terisi penuh—dan
terasa sayang untuk menumpahkan airnya begitu saja.
Cinta berbeda keyakinan. Sering aku mendengar kata itu,
namun tidak pernah berfikir jika itu akan terjadi padaku juga—pada kita. Terkadang,
seperti ingin menyalak pada diriku sendiri, kenapa cinta malah bersentuhan
denganmu? Bukan, bukan karena aku menyesal bertemu pria sepertimu, hanya saja
aku menyesal pada situasi diantara kita, pada jarak dan perbedaan yang begitu
besar. Ah, dan semua ini menjadi menakutkan pada akhirnya.
Aku yakin, kamu tidak akan pernah dapat melompat untukku—begitu
juga aku. Pada akhirnya, untuk kesekiankali waktu mempermainkan kita kembali. Ah,
Tuhan, cerita melow dramatic seperti ini aku benar-benar menderita.
Senin, 21 Januari 2013
Senja itu aku antarkan padamu
Senja itu aku antarkan padamu, Ri.
Seperti sebuah pertemuan pertama kita dalam cahaya mentari
yang kuat
Yang membimbingku untuk jatuh cinta padamu.
Ri, di senja yang hangat ini.
Semua rindu berdecitan didepan telingaku,
Membisikan namamu.
Kiranya aku tidak pernah tau bahwa perbedaan itu akan terasa menyakitkan.
Kiranya aku baru menyadari,
Jika perbedaan
bukan perkara mudah untuk kita selesaikan
berdua.
Ri, kini aku mengakui satu hal,
bahwa mencintaimu begitu membuatku lelah.
Aku lelah pada ketidakpastian masa depan,
masa depan yang mana, yang akan membawaku padamu?
Aku ragu, Ri.
Sementara perbedaan begitu kuat mendesak kita untuk saling
melepaskan,
Kau tau, aku juga tau, tidak
ada yang salah dari cinta.
Namun, mengapa mereka tidak pernah bisa mengerti,
bahkan sekeras apapun kita bertahan, kita tetap saja terjatuh.
Ri, saat ini katakan
padaku.
Keyakinan seperti apa
yang bisa aku yakini sekarang, ketika aku dan kamu,
Ketika kita tidak bisa
menjadi satu kata ‘sama’ ?
Selasa, 15 Januari 2013
Adakah sedetik saja kau pernah mencintaiku?
Mungkin kamu tidak akan pernah faham tentang pernah sampai
dimana aku memendam perasaan-perasaan aneh ini sendiri, karena jujur saja aku
merasa begitu panjang waktu berlalu bersama harapan-harapan itu. Kau sendiri
pasti bingung mengapa bisa ada seorang wanita sepertiku yang memegang lembut
perasaannya hanya untuk menunggu kamu mengulurkan tangan hangat tanpa perlu merasa
takut akan terlepas.
Ya, kamu memang ajaib. Mencintaimu membuatku tidak pernah
ingin terlepas sekalipun semua itu terasa seperti melucuti satu persatu
kebahagiaan dalam diriku—kau nyata membuatku menunggu, membuatku berharap pada
apapun yang bisa kuharapkan—berharap pada tatapanmu yang magis, pada senyum
ilusi murahan milikmu dan pada wajah semu kelabu itu. Namun, kamu tidak pernah
memberi ruang untuk setitik harapan ini tumbuh disana—pada celah sempit hatimu
yang telah kau isi dengan benci-benci untuk aturan sakral yang lebih penting. Kepatuhan
membutakan intuisimu untuk lebih menghargai, untuk mencoba mengerti tentang
bagaimana rasanya memendan cinta dari sekian jarak tanpa ada rengkuhan nyata. Namun,
aku berhenti pada kata menyerah—memasrahkanmu pada angin disuatu senja yang
kunamakan ikhlas dan ku eja namamu
berulang ulang—tidak lain supaya kau bisa mendengarku sebelum cinta ini kubuang
bersama waktu yang telah menjanjikan banyak kebahagiaan tanpamu. Pada sore itu,
aku mengalah pada kenyataan.
Sekarang, aku melangkah memunguti remah-remah mimpi yang
tercecer. Bukan, ini bukan mimpi tentang kita atau tentang kamu—ini mimpi
tentang hidupku bersama kamu yang baru yang hatinya adalah milikku. Namun,
terkadang kenangan datang saat aku mendengar namamu—lalu pertanyaan itu
berkelebatan lagi dalam diriku, adakah
sedetik saja kau pernah mencintaiku?
Langganan:
Postingan (Atom)