Sabtu, 02 Juni 2012

Bisakah kau berjalan secara sederhana, cinta?

Diposting oleh Intang Kartika di 18.02 2 komentar
 Apa yang terjadi padaku?
Seketika dia menyentuh hidupku begitu saja, persis waktu itu saat mata kami bertemu. Awalnya aku tidak pernah menyadari akan jatuh cinta padanya, hingga detik berikutnya dia menggenggamku dengan tatapan itu. Sungguh, aku bersedia memberikan apapun asal hidupku bisa kembali normal, kembali berjalan secara sederhana.
Kenapa cinta membuat hidupku begitu sulit dan sempit? Dia menempel dikeningku, membuatku selalu menanti saat-saat bertemu dengannya, aku mencari sosok itu sepanjang aku tidak menemukannya dalam jangkauan pandangku, aku jarang berfikir rasional, lalu beranjak bodoh, terlebih karena perasaan cinta ini memperbudak seluruh sistem syaraf yang kumiliki.
Lalu sampai dimana segalanya bisa berakhir? Sampai dia aku miliki? Atau sampai waktu satu minggu ini berlalu begitu saja dan aku harus memulai menyusun hidupku kembali dari nol?

Jika saja cinta bisa berjalan secara sederhana, normal dan dalam batas yang wajar--mungkin aku bisa melangkah tanpa merasa diikuti oleh bayangannya setiap hari. Tuhan, bagaimana ini?
Subang, 3 Juni 2012.

미안 해요, Soo Jung-aa.

Diposting oleh Intang Kartika di 13.18 0 komentar
Yunho mengerang, dia melempar ponselnya kelantai dan beranjak mencari botol kecil berisi obat penenang yang akhir-akhir ini sering dia konsumsi. Yunho meneguk dua butir sekaligus, dia masih terduduk di wastafel hingga perasaannya berangsur-angsur membaik. Pria itu kini menatap wajahnya sendiri dicermin, dia langsung menunduk ketika mendapati air mata mulai mengalir perlahan—sungguh, ini adalah cobaan tersulit dalam hidupnya.
Yunho mengaku bahwa dia telah melakukan kesalahan besar. Disuatu waktu dalam hidupnya dia pernah dicintai oleh seorang wanita sederhana bernama Park Soo Jung, wanita anggun dengan segudang kesabaran. Namun, Tuhan seperti marah pada Yunho sekarang. setelah pria itu membiarkan Park Soo Jung pergi begitu saja, kini dia begitu membutuhkan gadisnya. Paling tidak, Yunho sekarang merasa menjadi pecundang besar.
Yunho merebahkan badannya disofa, rasa lelah kini menjalari seluruh tubuhnya. Dia memejamkan mata, mungkin ini saatnya untuk pria itu beristirahat sebelum dia mulai mencari lagi keberadaan gadis itu.
***
Park Soo Jung memincingkan matanya, sinar matahari sudah masuk melalui gordennya yang tipis. Dia menggeliat dan beranjak mencuci muka. Tidak butuh waktu lama untuk Soo Jung menikmati paginya, secangkir kopi kini sudah menyalurkan kafein ke peredaran darahnya, suara penyanyi kesayangannya pun sudah mengalun merdu ditelinga gadis itu, namun tetap saja ada yang kurang—sesuatu didalam hidupnya memang sudah lama hilang.
Banyak yang mengatakan bahwa hidup memang terkadang dipersulit oleh hal-hal kecil yang sebetulnya mudah, itu terjadi pada Soo Jung. Jika saja dia mau berbaik hati memaafkan sikap acuh Yunho dan bertahan disisinya, mungkin dia bisa merasa lebih sempurna lagi sekarang. yunho, ya pria itu menjadi segalanya dihidup Soo Jung selama beberapa tahun terakhir. Dari pertemuan pertama hingga detik ini Soo Jung masih merasakan getaran yang sama saat mengingat Yunho, dia benar-benar mencintai pria itu.
Lalu, kenapa wanita ini lari dari pria terkasihnya?
Alasannya sederhana, malam itu pada akhir musim dingin Yunho menyuruhnya menunggu disebuah restoran mewah disekitar gangnam. Wanita itu sudah begitu yakin jika Yunho akan melamarnya, dia menunggu dengan perasaan cemas namun Yunho tidak pernah datang.

Soo Jung meletakan cangkir berisi kopi itu dimeja, dia meraih ponselnya yang berkedip lalu mengangkat panggilan masuk diponselnya riang. “Kim Hee Jun?”
“Wanita bodoh, kemana saja kau?” Orang bernama Hee Jun itu berteriak dari sana, membuat Soo Jung harus menjauhkan ponselnya beberapa detik dari telinganya.
“Hey hey, tunggu sebentar. Kau sudah lama tidak bicara denganku, jadi jangan mulai percakapan ini dengan marah-marah.” Gadis itu terkekeh.
“Aku tidak bisa untuk tidak marah pada gadis nakal sepertimu. Kau apakan artisku hingga dia terlihat kacau akhir-akhir ini?” Hee Jun mendengus kesal.
Soo Jung bergeming, dia lalu membuang nafasnya “Apa Yunho baik-baik saja?”
“Mana mungkin dia baik-baik saja! Dia menjadi sangat menyebalkan setahun belakangan ini, pulanglah atau angkat teleponnya.”
“Aku tidak bisa, Hee Jun.”
“Mau sampai kapan kau bersikap dingin padanya? Percayalah, malam itu Yunho tidak bisa datang karena ada pekerjaan mendadak.” Hee Jun kini mulai kesal bicara dengan gadis itu.
“Sudahlah, aku tidak mau membicarakan hal ini sekarang.” Soo Jung menutup ponselnya kesal—entah kenapa, sekalipun hati gadis itu membutuhkan Yunho, namun dia masih belum bisa memaafkan sikap Yunho yang seenaknya.
***
“Aish, aku bisa gila.” Pekik seorang pria dengan style girly itu. pria itu menutup ponselnya dan berjalan menuju sofa, dia memincingkan mata Yunho lalu mendengus kesal. Hari ini ada beberapa jadwal pemotretan, namun artis asuhannya itu malah sibuk menghukum dirinya sendiri—lihat saja kantung mata yang sudah begitu besar diwajahnya, haruskan dia menutupi semua itu dengan make up tebal setiap hari? Hee Jun terduduk disofa, bagaimanapun juga dia harus melakukan sesuatu, jika tidak mungkin pria ini akan mati siang nanti.
Hee Jun melangkah dengan secangkir air dingin, dikucurkannya air itu perlahan hingga membuat pria bernama Yunho itu terperanjat. “Ya! Apa yang kau lakukan padaku.”
Hee Jun mendelik kesal, “Bangunlah, aku akan membuat pengakuan padamu.”

Yunho merasa jengah, Hee Jun membawanya kepantai dengan Ferrari canggih miliknya. “Sebenarnya kau mau membawaku kemana, hah?” Pekik Yunho.
“Aku akan membawamu ke sumber energimu.” Dia terdiam beberapa saat. “Harusnya aku sudah mengatakan hal ini dari dulu.”
“Apa?”
“Aku tau keberadaan Soo Jung, aku yang membantunya mengasingkan diri darimu.”
Yunho menatap wajah managernya itu geram, rasanya ingin sekali dia memukul pria itu tepat diwajahnya.
“Wow wow, tenang dulu, man.” Seperti dapat membaca fikiran Yunho, Hee Jun cepat cepat menjelaskan semuanya. “Wanita mu melarangku mengatakan apapun, ayolah Yunho maafkan aku.” Dia terkekeh saat mobilnya memasuki sebuah rumah dengan banyak bunga bermekaran. “Masuklah, aku yakin dia ada didalam.
Yunho terlihat ragu sejenak, namun itu tidak berlangsung lama ketika dia menekan bel pintu itu dan mendengar suara yang begitu dia rindukan berkata lembut padanya. “Hee Jun kah?” Seketika pintu terbuka, wanita itu terkejut melihat kedatangan Yunho dirumah kecilnya.
“Bagaimana bisa aku mencintai wanita sepertimu?” Bisik Yunho, dia menahan dirinya untuk tidak sesegera memeluk Soo Jung. Hatinya kesal, namun dia tidak bisa merasa kesal ketika menatap wajah itu.
“Kenapa kau bisa sampai disini?”
“Harusnya kau meminta maaf padaku, kan? Kenapa tidakkau lakukan?” Ucap Yunho dingin. Soo Jung bergeming, wanita itu tidak bisa mencerna kata-kata Yunho dengan baik. Dia menunduk dan mulai menangis.
Yunho memandang gadisnya, rasa perih itu menjalari tubuhnya. Dengan perlahan Yunho mendekap tubuh Soo Jung, membiarkan gadis itu menangis dan membiarkan rindunya menguap sedikit demi sedikit. “Maafkan aku.” Bisik Yunho. Gadis itu mengangguk, dia mulai membalas pelukan Yunho.
“Ingatkan aku jika aku lupa untuk mengatakannya” Yunho terdiam sejenak, dia terlihat menelan udara kedalam paru-parunya dan membuangnya kembali. “Kau perlu tau, aku tidak dapat menghilangkan senyum indahmu begitu saja. Kau meninggalkan jejak-jejak disini, membuatku mengikutinya lagi dan lagi untuk kembali padamu—pernahkah kau merasa begitu baik ketika memandang wajah seseorang? Aku kini sedang merasakannya, ketika memandangmu aku tau bahwa aku mencintaimu. Ingat itu dan maukah kau kembali padaku?”
Soo jung tersenyum, dia melepas pelukan erat mereka dan menatap wajah pria yang selama ini dikaguminya. “Tentu saja.” Bisik Soo Jung mantap.


 Subang, 3 Juni 2012.

Jumat, 01 Juni 2012

You are the best one, of the best ones.

Diposting oleh Intang Kartika di 23.03 0 komentar

Terinspirasi dari the secret’s in the telling – Dashboard Confessional.

Because you’ll be somebody’s girl and you’ll keep each other warm. But tonight, I’m feeling cold..

Author POV
Jin Woon tertegun.
Dia menekan keningnya yang sedikit memar lalu menunjukan raut wajah kesakitan. Memang benar, luka itu belum sembuh benar ternyata—sama seperti luka dihatinya yang sama sekali tidak membaik.
“Aku bisa bertahan disisimu, asalkan kau mau melepaskanku untuk pria itu.”
Jin Woon tersenyum sinis dari tempatnya duduk sekarang. Perkataan itu pernah satu kali didengarnya dari seseorang yang begitu berarti untuk Jin Woon—seorang gadis bermata teduh yang telah lama mengisi hidupnya, gadis yang memberinya kebahagiaan dan juga menghancurkan hidupnya sekaligus. Sungguh, jika Jin Woon mempunyai kekuatan untuk tidak menatap wajah gadis itu, mungkin sekarang dia sudah pergi jauh dari hidup gadisnya, mungkin juga sekarang dia sudah hidup bersama orang lain yang dapat mencintainya secara lebih wajar. Namun, cinta memang menghalau langkah Jin Woon untuk itu. Jin Woon menyerah pada kenyataan jika dia harus menjadi pria kedua dihidup Park Jiyeon.
“Jin Woon.” Sebuah suara lembut menyentuh ujung telinga pria bertubuh tegap itu. “Keningmu masih sakit?”
“Tentu saja, nuna.”
Wanita yang dipanggil nuna tadi duduk disisi Jin Woon, “Sudah aku bilang kau harus berhati-hati. Bagaimana bisa kau menabrak pohon ketika mengemudi? Untung saja hanya keningmu yang terluka.”
Jin Woon tersenyum, dia menggenggam tangan kakak perempuannya lembut. “Aku baik-baik saja, Nuna.” Dia lalu beranjak, mengambil mantelnya dan berjalan menuju pintu kamarnya.
“Sekarang kau mau kemana lagi?”
“Aku ada janji dengan Jiyeon.” Seketika pintu tertutup begitu saja.
***
Park Jiyeon tersenyum kearah seorang pria yang kini sedang berjalan menghampirinya, tangan pria itu menggenggam sebuket besar mawar merah. Jiyeon tersenyum, namun orang bodohpun pasti akan tau jika dia tidak sedang merasa bahagia sekarang—senyumnya palsu, kegembiraan yang selalu ditampakkannya juga semuanya palsu. Rasa cemas itu kini menggeluti seisi hati Jiyeon, dia sangat menyesal ada ditempat ini dan menunggu pria itu sekarang.
“Jiyeon, kau baik-baik saja?” Pria itu kini sudah duduk disamping Jiyeon dan menggenggam tangan gadis itu lembut. Jiyeon tersentak dari lamunannya dan tersenyum getir. “Kau sakit?” Ucap pria tampan itu cemas. Jiyeon hanya tersenyum dan melepas tangannya dari kehangatan yang tidak dia inginkan itu. “Ibu menginginkan kita tiba dirumah sebelum pukul tujuh malam nanti, kau bisa datang kan?”
Jiyeon sedikit berfikir, “Tentu saja, Kimbum. Aku pasti akan datang.”
Pria bernama Kimbum itu tersenyum senang, “Harusnya aku bersyukur karena Tuhan telah mempertemukan kita.”
Ah, lupakan kata-kata itu. Kejadian sebenarnya adalah ibu merekalah yang telah merencanakan semua ini, perjodohan, itulah faktor terpenting yang membuat hidup Jiyeon menjadi begitu hambar.
“Setelah ini kau mau kemana?” Tanya Jiyeon tanpa merespon perkataan Kimbum tadi.
“Aku ada urusan disekitar gangnam, kau mau ikut denganku atau bagaimana?”
“Aku juga ada keperluan disekitar sini, jemput aku dirumah saja ya?” Jiyeon beranjak dari tempatnya duduk, harum bunga musim semi mengapit langkahnya pagi itu. Jiyeon tau tidak ada hal yang bisa dia lakukan saat ini kecuali bertemu dengan Jin Woon, karena setiap bertemu dengan pria itu Jiyeon tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain.
***
Jin Woon POV
Kami berpegangan tangan dengan erat dibawah pohon flamboyan tua sambil sesekali mengagumi bunga-bunga yang berjuang untuk mekar disepanjang taman ini. Aku menoleh pada wanita itu dan memandangnya begitu lama hingga aku menyadari jika dia memang merupakan segala hal yang aku butuhkan dalam hidup ini. Demi Tuhan, aku ingin sekali membawanya pergi menjauh dari sini—dari segala hal yang menginginkan kami berpiah. Namun, akankah dia setuju dan bersedia mengikuti langkahku?
Aku menghembuskan nafas berat dan kembali menatap udara dihadapanku, ini sungguh menyulitkan kami.
“Jin Woon?” Bisik Jiyeon lembut.
“Ya?”
“Kenapa kau begitu pucat?” Sepasang tangan meyentuh permukaan pipiku. Aku sedikit tersentak dan menatap wajah teduh itu heran. “Kau sakit?”
Aku menggeleng, bagaimana bisa aku merasa sakit ketika melihat mata indah itu menatapku? Jiyeon, mungkin aku bisa gila jika kehilangannya.
Jiyeon tersenyum, “Maafkan aku, Jin Woon.”
“Maaf untuk apa?”
“Karena aku tidak punya pilihan lain selain melepaskanmu, Jin Woon.”
Angin mendesir, aku terpaku menatap ketidakpercayaan bahwa hal ini akan aku dengar begitu cepat. “Apa ini kalimat perpisahan?”
Jiyeon menunduk cukup lama. “Ya, malam ini keluargaku dan Kimbum akan membicarakan tanggal pernikahan kami. Jin Woon, lepaskan aku.”
Aku membuang udara yang sedari tadi aku tahan diparu-paruku, lalu berkata dengan amat lirih pada wanita itu. “Aku hanya akan berkata satu kali, Jiyeon. Jadi, dengarkan baik-baik!” Ucapku datar, entah apa yang ada dalam fikiranku sekarang—hanya saja hatiku berkata jika hubungan kami tidak akan pernah berakhir. “Aku tidak akan melepaskanmu. Tidak akan pernah!” ku gamit tangan halus itu kasar dan menuntunnya menyusuri sepanjang jalan ini.
“Jin Woon.” Jiyeon mencoba melepaskan genggamanku, tapi aku tetap menyeretnya hingga sampai dipintu mobil.
“Masuklah, akan ku ajak kau ke suatu tempat.”
***
Jiyeon POV
Suara gemuruh deburan ombak menyentuh telinga kami berdua, aku menatap wajah Jin Woon—namun dia masih terlihat marah. Aku menghela nafas ringan, Jin Woon akan begitu menyeramkan ketika marah, jadi aku akan memilih diam sampai dia mau membuka suara untukku. Tapi, kenapa kami harus kepantai?
“Turun.” Pintanya padaku ketika kami sudah lebih dekat ke bibir pantai. Aku menurut dan mengikuti langkahnya dari belakang. Pria itu berjalan dengan tenang, menatap lautan lepas tanpa sedikitpun menunjukan ekspresi apapun. Apa yang sekarang sedang dia fikirkan? Apa dia sekarang sedang memikirkan kami? Atau dia malah sedang merencanakan hidupnya yang baru selepas kami benar-benar berpisah nanti? Aku sama sekali tidak tau. Tapi rasanya memang sulit melepaskan pria sebaik Jin Woon, dia selalu melakukan yang terbaik untukku, dan sekarang aku hanya bisa membalas segala pengorbanannya dengan rasa sakit.
Jin Woon berbalik ketika aku masih sibuk berfikir sendiri, “Kau bosan ada disini?”
Aku tersentak, cepat-cepat aku tersenyum dan menggeleng.
“Kalau begitu, kita duduk disini menunggu matahari tenggelam ya?” Pinta Jin Woon dengan mata berbinar, aku mengangguk dan duduk disampingnya. “Kau tau, Jiyeon?”
“Apa?” Bisikku perlahan.
“Aku bisa membawamu pergi, asal kau bersedia mengikutiku.” Sinar mentari menerpa wajah tampan itu, matanya dingin menatap lautan.
Aku terpekur, “Jin Woon, ada banyak hal yang tidak bisa aku lepaskan jika aku ikut bersamamu.”
“Apa itu?”
Hening sejenak sampai aku kembali berani membuka suara, “Ibuku.”
Jin Woon menghela nafas getir, aku tau jika sekarang dia tidak bisa mengucapkan kalimat lain untuk membujukku.
Kami berdua diam hingga senja menjemput dikejauhan.
***
Author POV
Sinar mentari pagi menelusup dibalik kaca jendela yang daun pintunya terbuka, menyentuh sebagian benda dikamar kecil dengan corak bunga anyelir itu. seorang pria menggeliat dari tidurnya semalam, dia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menyadari jika wanita yang disampingnya sudah tidak ada. Pria bernama Jin Woon itu menyentuh keningnya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari tidurnya dan menyambar mantel coklat dengan sangat terburu-buru.
Jin Woon baru saja keluar dari penginapan ketika matanya menangkap sosok tercintanya sedang menatap hamparan lautan didepan sana, setitik rasa lega menyambangi hati pria itu—setidaknya untuk saat ini.
Jin Woon menghampiri wanita itu tanpa ragu, lalu memeluk tubuh tercintanya hangat. “Aku fikir aku sudah benar-benar kehilanganmu.” Bisik Jin Woon lembut.
Segaris senyum tergambar dari wajah cantik itu. “Kau memang akan kehilanganku.”
Jin Woon menggeleng, rasa tidak rela masih menyelimuti pria itu. Entah untuk keberapa kali Jin Woon merasakan hatinya begitu perih dan takut.
Jiyeon melepas pelukan Jin Woon dan tersenyum, tidak berapa lama sebuah Lamborghini datang menghampiri mereka, Jin Woon menatap Jiyeon heran. Jiyeon hanya tersenyum dengan mata berair, “Kimbum sudah menjemputku, aku pulang.” Wanita itu berbalik tanpa sedikitpun menoleh kearah Jin Woon yang sekarang mematung ditempatnya.
Angin mengantar perasaan cinta Jin Woon diperbatasan, menyematkan perih yang begitu dalam dihati pria itu. Sekarang, tidak ada lagi yang bisa Jin Woon lakukan selain tetap mencintai Jiyeon—wanita terindah yang pernah mencintainya dengan sempurna.

Jiyeon-aa, sekalipun ini terasa menyakitkan, sekalipun kau meninggalkanku dan membuatku menangis. Namun, didunia ini ijinkan aku hanya mencintaimu—karena kau yang terbaik yang pernah aku miliki.
End.



Subang, 31 Mei 2012.
Intang Kartika.
 

Intang Kartika Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei