Terinspirasi dari the secret’s in the telling – Dashboard
Confessional.
Because you’ll be somebody’s girl
and you’ll keep each other warm. But tonight, I’m feeling cold..
Author POV
Jin
Woon tertegun.
Dia
menekan keningnya yang sedikit memar lalu menunjukan raut wajah kesakitan.
Memang benar, luka itu belum sembuh benar ternyata—sama seperti luka dihatinya
yang sama sekali tidak membaik.
“Aku bisa bertahan disisimu,
asalkan kau mau melepaskanku untuk pria itu.”
Jin
Woon tersenyum sinis dari tempatnya duduk sekarang. Perkataan itu pernah satu
kali didengarnya dari seseorang yang begitu berarti untuk Jin Woon—seorang
gadis bermata teduh yang telah lama mengisi hidupnya, gadis yang memberinya
kebahagiaan dan juga menghancurkan hidupnya sekaligus. Sungguh, jika Jin Woon
mempunyai kekuatan untuk tidak menatap wajah gadis itu, mungkin sekarang dia
sudah pergi jauh dari hidup gadisnya, mungkin juga sekarang dia sudah hidup
bersama orang lain yang dapat mencintainya secara lebih wajar. Namun, cinta
memang menghalau langkah Jin Woon untuk itu. Jin Woon menyerah pada kenyataan
jika dia harus menjadi pria kedua dihidup Park Jiyeon.
“Jin
Woon.” Sebuah suara lembut menyentuh ujung telinga pria bertubuh tegap itu.
“Keningmu masih sakit?”
“Tentu
saja, nuna.”
Wanita
yang dipanggil nuna tadi duduk disisi Jin Woon, “Sudah aku bilang kau harus
berhati-hati. Bagaimana bisa kau menabrak pohon ketika mengemudi? Untung saja
hanya keningmu yang terluka.”
Jin
Woon tersenyum, dia menggenggam tangan kakak perempuannya lembut. “Aku
baik-baik saja, Nuna.” Dia lalu beranjak, mengambil mantelnya dan berjalan
menuju pintu kamarnya.
“Sekarang
kau mau kemana lagi?”
“Aku
ada janji dengan Jiyeon.” Seketika pintu tertutup begitu saja.
***
Park
Jiyeon tersenyum kearah seorang pria yang kini sedang berjalan menghampirinya,
tangan pria itu menggenggam sebuket besar mawar merah. Jiyeon tersenyum, namun
orang bodohpun pasti akan tau jika dia tidak sedang merasa bahagia
sekarang—senyumnya palsu, kegembiraan yang selalu ditampakkannya juga semuanya
palsu. Rasa cemas itu kini menggeluti seisi hati Jiyeon, dia sangat menyesal
ada ditempat ini dan menunggu pria itu sekarang.
“Jiyeon,
kau baik-baik saja?” Pria itu kini sudah duduk disamping Jiyeon dan menggenggam
tangan gadis itu lembut. Jiyeon tersentak dari lamunannya dan tersenyum getir.
“Kau sakit?” Ucap pria tampan itu cemas. Jiyeon hanya tersenyum dan melepas tangannya
dari kehangatan yang tidak dia inginkan itu. “Ibu menginginkan kita tiba
dirumah sebelum pukul tujuh malam nanti, kau bisa datang kan?”
Jiyeon
sedikit berfikir, “Tentu saja, Kimbum. Aku pasti akan datang.”
Pria
bernama Kimbum itu tersenyum senang, “Harusnya aku bersyukur karena Tuhan telah
mempertemukan kita.”
Ah,
lupakan kata-kata itu. Kejadian sebenarnya adalah ibu merekalah yang telah
merencanakan semua ini, perjodohan, itulah faktor terpenting yang membuat hidup
Jiyeon menjadi begitu hambar.
“Setelah
ini kau mau kemana?” Tanya Jiyeon tanpa merespon perkataan Kimbum tadi.
“Aku
ada urusan disekitar gangnam, kau mau ikut denganku atau bagaimana?”
“Aku
juga ada keperluan disekitar sini, jemput aku dirumah saja ya?” Jiyeon beranjak
dari tempatnya duduk, harum bunga musim semi mengapit langkahnya pagi itu.
Jiyeon tau tidak ada hal yang bisa dia lakukan saat ini kecuali bertemu dengan
Jin Woon, karena setiap bertemu dengan pria itu Jiyeon tidak perlu berpura-pura
menjadi orang lain.
***
Jin Woon POV
Kami
berpegangan tangan dengan erat dibawah pohon flamboyan tua sambil sesekali
mengagumi bunga-bunga yang berjuang untuk mekar disepanjang taman ini. Aku
menoleh pada wanita itu dan memandangnya begitu lama hingga aku menyadari jika
dia memang merupakan segala hal yang aku butuhkan dalam hidup ini. Demi Tuhan,
aku ingin sekali membawanya pergi menjauh dari sini—dari segala hal yang
menginginkan kami berpiah. Namun, akankah dia setuju dan bersedia mengikuti
langkahku?
Aku
menghembuskan nafas berat dan kembali menatap udara dihadapanku, ini sungguh menyulitkan kami.
“Jin
Woon?” Bisik Jiyeon lembut.
“Ya?”
“Kenapa
kau begitu pucat?” Sepasang tangan meyentuh permukaan pipiku. Aku sedikit
tersentak dan menatap wajah teduh itu heran. “Kau sakit?”
Aku
menggeleng, bagaimana bisa aku merasa sakit ketika melihat mata indah itu
menatapku? Jiyeon, mungkin aku bisa gila jika kehilangannya.
Jiyeon
tersenyum, “Maafkan aku, Jin Woon.”
“Maaf
untuk apa?”
“Karena
aku tidak punya pilihan lain selain melepaskanmu, Jin Woon.”
Angin
mendesir, aku terpaku menatap ketidakpercayaan bahwa hal ini akan aku dengar
begitu cepat. “Apa ini kalimat perpisahan?”
Jiyeon
menunduk cukup lama. “Ya, malam ini keluargaku dan Kimbum akan membicarakan
tanggal pernikahan kami. Jin Woon, lepaskan aku.”
Aku
membuang udara yang sedari tadi aku tahan diparu-paruku, lalu berkata dengan
amat lirih pada wanita itu. “Aku hanya akan berkata satu kali, Jiyeon. Jadi,
dengarkan baik-baik!” Ucapku datar, entah apa yang ada dalam fikiranku
sekarang—hanya saja hatiku berkata jika hubungan kami tidak akan pernah
berakhir. “Aku tidak akan melepaskanmu. Tidak akan pernah!” ku gamit tangan
halus itu kasar dan menuntunnya menyusuri sepanjang jalan ini.
“Jin
Woon.” Jiyeon mencoba melepaskan genggamanku, tapi aku tetap menyeretnya hingga
sampai dipintu mobil.
“Masuklah,
akan ku ajak kau ke suatu tempat.”
***
Jiyeon POV
Suara
gemuruh deburan ombak menyentuh telinga kami berdua, aku menatap wajah Jin
Woon—namun dia masih terlihat marah. Aku menghela nafas ringan, Jin Woon akan
begitu menyeramkan ketika marah, jadi aku akan memilih diam sampai dia mau
membuka suara untukku. Tapi, kenapa kami harus kepantai?
“Turun.”
Pintanya padaku ketika kami sudah lebih dekat ke bibir pantai. Aku menurut dan
mengikuti langkahnya dari belakang. Pria itu berjalan dengan tenang, menatap
lautan lepas tanpa sedikitpun menunjukan ekspresi apapun. Apa yang sekarang
sedang dia fikirkan? Apa dia sekarang sedang memikirkan kami? Atau dia malah
sedang merencanakan hidupnya yang baru selepas kami benar-benar berpisah nanti?
Aku sama sekali tidak tau. Tapi rasanya memang sulit melepaskan pria sebaik Jin
Woon, dia selalu melakukan yang terbaik untukku, dan sekarang aku hanya bisa
membalas segala pengorbanannya dengan rasa sakit.
Jin
Woon berbalik ketika aku masih sibuk berfikir sendiri, “Kau bosan ada disini?”
Aku
tersentak, cepat-cepat aku tersenyum dan menggeleng.
“Kalau
begitu, kita duduk disini menunggu matahari tenggelam ya?” Pinta Jin Woon
dengan mata berbinar, aku mengangguk dan duduk disampingnya. “Kau tau, Jiyeon?”
“Apa?”
Bisikku perlahan.
“Aku
bisa membawamu pergi, asal kau bersedia mengikutiku.” Sinar mentari menerpa
wajah tampan itu, matanya dingin menatap lautan.
Aku
terpekur, “Jin Woon, ada banyak hal yang tidak bisa aku lepaskan jika aku ikut
bersamamu.”
“Apa
itu?”
Hening
sejenak sampai aku kembali berani membuka suara, “Ibuku.”
Jin
Woon menghela nafas getir, aku tau jika sekarang dia tidak bisa mengucapkan
kalimat lain untuk membujukku.
Kami
berdua diam hingga senja menjemput dikejauhan.
***
Author POV
Sinar
mentari pagi menelusup dibalik kaca jendela yang daun pintunya terbuka,
menyentuh sebagian benda dikamar kecil dengan corak bunga anyelir itu. seorang
pria menggeliat dari tidurnya semalam, dia mengerjapkan matanya beberapa kali
sebelum menyadari jika wanita yang disampingnya sudah tidak ada. Pria bernama
Jin Woon itu menyentuh keningnya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari
tidurnya dan menyambar mantel coklat dengan sangat terburu-buru.
Jin
Woon baru saja keluar dari penginapan ketika matanya menangkap sosok
tercintanya sedang menatap hamparan lautan didepan sana, setitik rasa lega
menyambangi hati pria itu—setidaknya untuk saat ini.
Jin
Woon menghampiri wanita itu tanpa ragu, lalu memeluk tubuh tercintanya hangat.
“Aku fikir aku sudah benar-benar kehilanganmu.” Bisik Jin Woon lembut.
Segaris
senyum tergambar dari wajah cantik itu. “Kau memang akan kehilanganku.”
Jin
Woon menggeleng, rasa tidak rela masih menyelimuti pria itu. Entah untuk
keberapa kali Jin Woon merasakan hatinya begitu perih dan takut.
Jiyeon
melepas pelukan Jin Woon dan tersenyum, tidak berapa lama sebuah Lamborghini
datang menghampiri mereka, Jin Woon menatap Jiyeon heran. Jiyeon hanya
tersenyum dengan mata berair, “Kimbum sudah menjemputku, aku pulang.” Wanita
itu berbalik tanpa sedikitpun menoleh kearah Jin Woon yang sekarang mematung
ditempatnya.
Angin
mengantar perasaan cinta Jin Woon diperbatasan, menyematkan perih yang begitu
dalam dihati pria itu. Sekarang, tidak ada lagi yang bisa Jin Woon lakukan
selain tetap mencintai Jiyeon—wanita terindah yang pernah mencintainya dengan
sempurna.
Jiyeon-aa, sekalipun ini terasa
menyakitkan, sekalipun kau meninggalkanku dan membuatku menangis. Namun,
didunia ini ijinkan aku hanya mencintaimu—karena kau yang terbaik yang pernah
aku miliki.
End.
Subang,
31 Mei 2012.
Intang Kartika.
0 komentar:
Posting Komentar