Mungkin kamu tidak akan pernah faham tentang pernah sampai
dimana aku memendam perasaan-perasaan aneh ini sendiri, karena jujur saja aku
merasa begitu panjang waktu berlalu bersama harapan-harapan itu. Kau sendiri
pasti bingung mengapa bisa ada seorang wanita sepertiku yang memegang lembut
perasaannya hanya untuk menunggu kamu mengulurkan tangan hangat tanpa perlu merasa
takut akan terlepas.
Ya, kamu memang ajaib. Mencintaimu membuatku tidak pernah
ingin terlepas sekalipun semua itu terasa seperti melucuti satu persatu
kebahagiaan dalam diriku—kau nyata membuatku menunggu, membuatku berharap pada
apapun yang bisa kuharapkan—berharap pada tatapanmu yang magis, pada senyum
ilusi murahan milikmu dan pada wajah semu kelabu itu. Namun, kamu tidak pernah
memberi ruang untuk setitik harapan ini tumbuh disana—pada celah sempit hatimu
yang telah kau isi dengan benci-benci untuk aturan sakral yang lebih penting. Kepatuhan
membutakan intuisimu untuk lebih menghargai, untuk mencoba mengerti tentang
bagaimana rasanya memendan cinta dari sekian jarak tanpa ada rengkuhan nyata. Namun,
aku berhenti pada kata menyerah—memasrahkanmu pada angin disuatu senja yang
kunamakan ikhlas dan ku eja namamu
berulang ulang—tidak lain supaya kau bisa mendengarku sebelum cinta ini kubuang
bersama waktu yang telah menjanjikan banyak kebahagiaan tanpamu. Pada sore itu,
aku mengalah pada kenyataan.
Sekarang, aku melangkah memunguti remah-remah mimpi yang
tercecer. Bukan, ini bukan mimpi tentang kita atau tentang kamu—ini mimpi
tentang hidupku bersama kamu yang baru yang hatinya adalah milikku. Namun,
terkadang kenangan datang saat aku mendengar namamu—lalu pertanyaan itu
berkelebatan lagi dalam diriku, adakah
sedetik saja kau pernah mencintaiku?
0 komentar:
Posting Komentar