Sabtu, 26 Mei 2012

SUMMER KISS

Diposting oleh Intang Kartika di 20.12
Tittle: Summer Kiss
Main Cast: Krystal Jung; Choi Minho;
Genre: Sad Story
Author: Intang Kartika
Ps: Bertemu, berpisah, kehilangan, mencintai dan menangis merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Hadapilah. Karena, tidak ada satupun permasalahan tanpa jalan keluar.


/1/ PROLOG

Aku duduk menghadap kaca besar yang melilit seluruh ruangan ini. Ku perhatikan diriku satu-satu, mata, hidung, bibir dan wajah yang merona merah. Rasanya tidak ada yang aneh, hanya saja setiap bertemu dengan namja itu aku jadi merasa—seperti kepanasan. Entah apa yang salah, yang jelas musim panas sudah lama berlalu.
Tiba-tiba seorang yeoja datang, dia tersenyum padaku dengan sebuah kotak besar berwarna silver ditangannya. “Sudah siap?” Ujarnya ramah. Aku mengangguk. Dia mulai mengeluarkan beberapa benda dari kotak itu dan mulai melukis wajahku, eyes shadow, blush on, lipstick, ditempel dengan sangat perlahan dan teliti.
“Unnie, jangan terlalu tebal. Ok?” Aku sedikit mengintip hasil kerjanya.
“Tenang saja, akan ku buat se-natural mungkin.”
Tiba-tiba suara pintu terbuka, mengagetkanku. Mataku masih terpejam ketika derap sepatu itu menghujam tanah dan mendekatiku, “Siapa yang datang unnie?”
“Hm itu …” Unnie belum menyelesaikan kalimatnya hingga sentuhan lembut tiba-tiba menyentuh permukaan bibirku. Aku terkesiap, memaksakan membuka mata dan “Ya Tuhan, apa yang kau …”
***













Krystal POV

klik…
Blitz dari kamera SLR milik yeoja itu memecah penglihatanku, sebuah tiruan jajaran pohon dengan gradasi warna dihadapannya terpantul dari monitor kecil dikameranya. Dia tersenyum dan berjingkrak riang “Krystal, apa hasilnya bagus?” Dia memperlihatkan monitor kecil di kamera kesayangannya itu padaku.
“Lumayan.” Aku tersenyum sambil melanjutkan langkah.
“Krystal, sejak kapan kau suka fotografi?” Dia berusaha menyamai langkahku.
Aku berfikir sejenak, “Mungkin semenjak aku merusak kamera digital baru milik kakak ku.”
Yeoja disampingku itu tertawa kecil. Aku mengambil satu langkah lagi dan berhenti, memutar lensa, mencari fokus yang cocok dan mulai membidik beberapa gambar langit diatas kami.
“Benarkah motivasi awalmu seburuk itu?”
Aku tertawa, “Bisakah kau sedikit memperhalus bahasa mu, Luna?”
“Ini sudah sangat halus.” Dia merapikan rambutnya yang berantakan diterpa angin. “Krystal, kenapa kau belum punya pacar? Aku heran, ditengah perubahan teknologi yang begitu pesat kau masih sendiri.”
“Ya! Kau ini keterlaluan sekali. Hidupku itu lebih rumit dari yang kau bayangkan.” Aku mendecak.
“Tapi setidaknya pasti ada pria yang kau sukai kan?”
Aku menggeleng, “Aku rasa tidak.”
“What? Hidupmu benar-benar suram.” Dia mengibaskan rambutnya. Aku kembali menatap langit dari balik lensa kamera.
“Aku hanya selalu beranggapan bahwa pria bukanlah segalanya.” Aku menatap monitor kecil bergambarkan langit kota Seoul yang luas. Pacar? Ah—aku sama sekali tidak pernah memikirkan hal ini sedetik pun, memikirkan pria pun tidak pernah, apalagi mencoba mencintai pria. Lagi pula, mungkin tidak ada pria yang mau mencintaiku.
***

Minho POV

Hand out the window, Floatin' on air. Just a flip of the wrist And I am wavin' you goodbye.

Dashboard Confessional terdengar membahana di Seoul Olympic Park Stadion. Wajah Chris Carraba terlihat begitu mempesona wanita disampingku ini, sementara aku sudah berkali-kali mencoba membujuknya untuk pulang dan tentunya selalu dia tolak. Telingaku hampir pecah mendengar jeritan para penonton yang tentunya rata-rata perempuan-perempuan muda korea.
Aku menurunkan letak kacamata hitam ku hingga sebatas hidung bagian bawah, “Kau yakin tidak ingin pulang?”
“Apa opaa?!” Dia malah balik berteriak padaku dengan tatapan mata yang masih menatap penyanyi kesayangannya itu.
“Kau yakin tidak ingin pulang?!”
“Haaaaaaaaaaah?”
Aku melempar tubuhku pada sandaran kursi vvip dan mencoba menikmati jalannya konser penyanyi kenamaan dari Amerika itu. Jika kalau bukan karena perintah ibu yang menyuruh ku menemani Sulli kemari, mungkin aku sekarang sudah berada disuatu tempat tanpa pengganggu seperti adikku ini.
Ponselku seketika bergetar, dengan sekali hentakan flip itu terbuka. “Yoboseo?” Aku mencoba mendengarkan suara orang disana, tapi percuma saja. “Sebentar, aku akan keluar dulu.” Aku melangkah dari kursiku dan berjalan menuju pintu keluar. “Ya, sekarang aku bisa mendengar suaramu. Ada apa?”
“Hyung, kau ada dimana? Aku sedang tidak ada kerjaan, bagaimana jika kita bermain basket?”
“Tidak bisa, aku sedang menemani Sulli.”
“Apa? Kenapa berisik sekali?” Taemin berteriak, membuat telingaku makin sakit.
“Bagaimana jika kau kemari?” Seketika ide itu muncul begitu saja.
***

Taemin POV

“Baiklah aku kesana.” Aku menginjak pedal gas dan mulai mencari lokasi Minho melalui GPS. Kini aku merasa sangat gelisah ketika Lamborghini Murcielago kebangganku menyusuri sepanjang jalan menuju Seoul Olympic Park Stadion. Perkataan hyung tadi masih memenuhi telingaku, “Bagaimana jika kau kemari?”
“Memang hyung dimana?” Aku mulai menyalakan mesin mobil.
“Aku di Seoul Olympic Park Stadion, kemarilah dan gantikan aku.”
“Gantikan apa? Kencan buta?”
“Apa kau sudah gila? Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu. Cepatlah datang, gantikan aku menemani adikku disini.”
Aku tertegun. Adik hyung kan bukannya Sulli?
“Kau masih mendengar ku kan?” Ucap hyung. Aku tersentak.
“Menemani Sulli maksud hyung?” Aku menjawab dengan terbata.
“Memangnya aku punya berapa adik! Cepatlah, aku mulai bosan bicara denganmu.” Dia memutuskan percakapan kami sepihak.
Aku sudah berada didepan Seoul Olympic Park Stadion. Wajah Sulli mengelilingi mataku, jantungku berdegup tidak normal dan aku merasa sangat gugup.
“Taemin, disini!” Hyung melambai didepan pintu masuk. Aku menghampirinya. “Masuklah. VVIP seat 27.” Dia tersenyum dan menepuk pundakku.
“Tapi hyung, apa yang harus aku katakan pada Sulli?”
“Katakan saja aku ada urusan mendadak. Ohya, sekalian juga antarkan adikku pulang. Mengerti?”
Aku mengangguk. “Apa dia tidak akan marah?” Ucapku pada diri sendiri setelah hyung berlalu menuju lift. Aku melangkah masuk dan mencari seat 27 di kategori vvip, mengedarkan pandangan hanya untuk mencari sosok yang sudah lama aku kagumi. Seketika, aku melihat wajah manis itu tersenyum begitu cantik. Kuhampiri wanita yang tengah menyanyikan lirik lagu yang sedang dibawakan penyanyi tampan didepan sana, “Choi Sulli, ini aku.” Ucapku sedikit berteriak. Mata itu menatapku dengan terkejut.
“Oppa?” Jawabnya lembut.
***

Minho POV

Aku melangkah menyusuri setiap inchi tanah di tepian sungai han. Angin malam menerpa wajahku, bias lampu yang terpantul dipermukaan air mirip seperti proyeksi bintang dilangit malam kota Seoul. Hatiku teduh, seteduh raut cantik yang tidak bisa aku lupakan. Ingatanku kembali melayang pada masa-masa manis bersamanya, saat aku masih berdiri disampingnya, menggenggam tangannya, memeluk tangisannya dan membantunya berdiri ketika dia terjatuh. Masa-masa itu adalah masa dimana aku begitu bahagia mencintai seorang wanita, sekalipun perasaannya sama sekali tidak pernah membalas perasaanku.
Langkahku terhenti, sudut mataku menatap ujung dari tepian air yang terbentang. “Kattrina, where are you?”Bisikku lirih pada angin.
Dia, Kattrina. Wanita keturunan Rusia yang pernah mengisi hidupku, yang pernah aku cintai hingga detik ini. Aku bertemu dengannya lima bulan yang lalu ketika berlibur ke Rusia, kami terjebak disebuah café kecil saat badai salju melanda Moskow. Dia memiliki ku pada pandangan pertama, menyentuh hatiku yang dingin dan aku telah jatuh padanya.
Daun telingaku mendengar derap kaki disusul teriakan kecil, aku oleng dan berbalik pada sesuatu yang menabrak punggungku. Seorang wanita memegang lututnya dengan nyeri, ponselnya terlepas, tubuhnya terduduk ditanah dengan kedua lutut yang berdarah. Wanita didepanku itu berdiri, dia membersihkan bajunya yang terlihat sedikit kotor dan menatapku marah.
“Dimana kau taruh matamu?” Ucapku kasar.
Dia terlonjak, “Ya! Aku baru saja hendak minta maaf padamu, kenapa kau malah marah-marah.” Matanya membulat.
Aku terkesiap, gadis ini hendak minta maaf? Lalu kenapa sorot matanya tadi seperti seorang manusia yang akan memakan dagingku, jelas perkataan dan wajahnya sangat tidak sinkron. “Aku tidak perlu permintaan maaf mu, pergilah.”
“Ya! Aku juga tidak lagi merasa perlu minta maaf!” Dia melangkah pergi dengan lutut berdarah. Aku memperhatikan sosok wanita itu yang kian menjauh, “Aish, dia keterlaluan sekali.” Aku kembali melangkah, namun ujung sepatu ku seperti menyentuh sesuatu. Sebuah ponsel berwarna merah muda tercecer ditanah, ponsel milik wanita itu? Aku mencoba menyatukan kembali bagian-bagiannya, menekan tombol merah dan sosok wanita tadi terlihat memenuhi LCD ponsel. Tubuhku tertegun, mencoba berfikir tentang apa yang harus aku perbuat pada ponsel miliknya ini. Akhirnya, aku menyerah pada sisi baikku.

Aku melangkah memasuki interior mewah dari tasty boulevard, sebuah restoran italia yang sangat terkenal didaerah gangnam. Sedikit perlu aku jelaskan jika aku kemari untuk mengembalikan ponsel wanita itu dan aku mengetahui lokasinya dari sms yang beberapa menit lalu masuk di ponselnya. Mataku beredar keseluruh penjuru ruangan, namun wajah itu belum dapat aku lihat. Tiba-tiba sebuah tepukan di bahuku membuatku terkejut, “Sedang apa kau disini?” aku berbalik dan mendapati sosok Onew berdiri dibelakangku.
“Kau? Sedang apa kau disini?”
Dia tersenyum, “Di tanya malah balik bertanya. Ikutlah, aku baru saja akan makan malam.”
“Ah tidak, aku kemari mencari seseorang.”
“Siapa? Kau mengencani seorang gadis?” Namja yang harusnya aku panggil hyung itu mulai lagi menggodaku.
“Tidak.” Aku memperhatikan ponsel merah muda ditanganku.
“Ikutlah, kita makan dulu.”
Secara terpaksa aku mengikuti langkahnya, karena Onew paling tidak suka dibantah. “Apa kau datang dengan seseorang?”
Onew meng-iya kan.
Kami sudah berada tepat dimeja bernomor 20 ketika seorang wanita mengangkat pandangannya dan menatapku. “Kenalkan, dia adikku.” Ucap Onew.
Aku terkesiap, wanita di tepi sungai han itu sekarang ada di hadapan ku.
“Apa yang kau lakukan disini?” Tanya mulut manis itu refleks.
“Aku …” Kalimatku seperti menyangkut di ujung lidah.
“Kalian sudah saling mengenal?”
Gadis itu mengangguk, dia memperhatikanku dengan kedua tangan menopang kepala mungilnya.
“Aku ingin mengembalikan ini.” Ucapku kaku. Mata cantik itu mengerjap.
“Ah, kamsahamnida. Aku sempat bingung bagaimana cara untuk mencarinya.”
“Itu terjatuh tadi.” Ucapku.
Onew memperhatikan kami dengan tatapan aneh, “Kalian sudah mengenal sejauh itu?”
Aku terkejut, “Bukan!” Sergahku.
Wanita itu tertawa, “Tidak oppa, aku hanya bertemu sepintas dengannya. Dia namja bodoh pemarah yang tadi aku ceritakan.”
“Ya!” Aku berteriak padanya, namun tidak sempat mengatakan apa-apa lagi karena onew sudah memukul kepalaku terlebih dahulu.
“Kau berani memarahi adikku, huh?”
“Ah, hyung. Ini tidak seperti yang kau bayangkan.”
Ya Tuhan, hari ini aku sudah keliru memarahi seorang wanita.
***

Krystal POV

“Oppa.” Aku mengetuk pintu kamar oppa Onew.
“Wae.” Pintu itu terbuka.
“Teman oppa yang kemarin malam itu, siapa namanya?”
Wajah Onew oppa berkerut, “Memangnya kenapa?”
“Aku ingin berterimakasih padanya, oppa punya nomor ponselnya?” Ucapku sedikit ragu.
“Carilah nomor Choi Minho.” Oppa memberikan ponselnya padaku dan menguap. “Jika sudah selesai, kembalikan.” Dia kembali menutup pintunya. Secepat kilat nomor Choi Minho sudah ter-copy di ponselku.
“Choi Minho? Selamat pagi.” Aku menggumamkan kalimat yang aku tulis di ponsel. “Terimakasih karena telah mengembalikan ponselku, sebagai tanda terimakasih, bagaimana jika aku mentraktir mu minum teh di take urban - gangnam? Bisakah kau ada disana tepat pukul delapan pagi?” klik … sending to Minho.
***

“Seharusnya kau memanggilku oppa, kan?” Sosok tampan dengan sorot mata tajam itu sudah duduk dihadapanku. Dia menyesap teh nya, “Krystal? Nama mu lebih bagus dari pada sikapmu.”
Aku tersenyum, pria ini benar-benar tidak punya filter dimulutnya. “Baiklah, aku akan memanggilmu oppa. Itu tidak masalah.”
Dia menyernyitkan dahinya, “Kau punya kepribadian ganda ya? Kemarin malam kau terlihat begitu kasar, sekarang malah sangat lembut dan sabar.”
“Tidak, aku hanya mencoba bersikap baik padamu.” Dia menatapku dengan mata teduhnya.
“Baiklah, aku mengerti. So, setelah minum teh ini aku bisa pulang tanpa kita harus bertemu lagi kan?” Ucap pria itu.
“Oppa, padahal aku ingin meminta bantuanmu.” Aku menggumam. Dia tertawa kecil.
“Coba kau ulangi lagi? Oppa?”
“Memangnya kenapa? Ada yang aneh ketika aku menyebut kata itu?”
“Itu terdengar seperti anak kecil yang minta dibelikan permen oleh kakaknya.” Dia tertawa.
“Aish. Oppa, oppa, oppa, bagaimana kalau hari ini kita pergi ke namsan tower?” Rengekku manja.
“Ya! Berhenti bicara dengan nada seperti itu. Aku tidak mau, aku sibuk.” Dia melipat kedua tangannya di dada.
Aku tertegun. “Kalau begitu akan aku adukan pada Onew oppa.”
Dia menatapku jengkel. “Yeoja ini benar-benar membuatku gila.”
“Ayolah oppa, hari ini aku benar-benar ingin pergi jalan-jalan dan memotret.” Aku mengeluarkan kamera kesayanganku dari dalam tas punggung kecil milikku.
“Ya ya ya, kalau begitu ayo jalan.” Dia berdri dari duduknya, aku mengikuti langkah besarnya dengan terburu-buru.
***

“Sungai Han?” Aku terkejut. “Ini bukan Namsan Tower, oppa.” Pria itu keluar dari Ferrari miliknya dan melangkah tanpa memperdulikanku. “Oppa…”
Dia tetap berjalan, lalu tanpa sadar aku mengikuti langkahnya pelan-pelan. Dilihat dari sisi ini, dia terkesan begitu tinggi, rambutnya menari tertiup angin, langkahnya ragu karena mata indah itu terlihat begitu fokus mengejar guratan awan di langit, jari-jarinya disembunyikan di balik saku, sesekali suara hempasan nafas berat terdengar, dia berjalan tanpa memperdulikan siapapun dan apapun. Aku mulai mengintip dirinya dari balik lensa kamera, mencoba mencari sisi paling bagus dari cara berjalannya dan bunyi klik itu beberapa kali terdengar. Namun, dia masih belum sadar. Kini aku berhenti, melihatnya berjalan semakin jauh meninggalkanku. Terasa ada yang aneh, tiba-tiba saja rasanya hatiku enggan membuat jarak yang begitu jauh dari sosok pria itu. “Oppa.” Bisikku lirih, dia sama sekali tidak menoleh, malah jaraknya semakin bertambah jauh. “Oppa, kenapa hati ku terasa sesak setiap melihatmu?”
Cahaya matahari merambat turun.
***

Minho POV

Jika aku jatuh cinta lagi, lalu pada wanita yang seperti apa aku akan jatuh cinta? Aku tidak bisa melihat wanita lain selain dirimu, Kattrina. Sekalipun aku tau jika kau sekarang sudah bahagia dengan ‘dia’ pilihanmu, sekalipun aku faham jika tujuan hidupmu bukan aku, dan aku mengerti jika kita tidak bisa bersama. Tapi, sekalipun kita bukan siapa-siapa, bisakah kau melepaskanku? Aku ingin memulai semuanya dari awal, seperti saat sebelum aku menemukanmu. Kattrina, kau melukai ku begitu dalam, namun mengapa aku begitu sulit melupakanmu?
Aku terkesiap, cahaya matahari yang masuk dari celah gorden menusuk mataku. Ah—lagi-lagi mimpi mengenai Kattrina. Aku bangun dan melangkah menuju wastafel, membasuh wajah beberapa kali dan mengenakan mantel coklat beludru, lalu melangkah keluar. Angin musim dingin beberapa kali menerpa kulitku, sesekali ku coba merapatkan mantel agar terasa lebih hangat. Aku melangkah sendiri sepagi ini di Seonyudo Park, melihat daun-daun yang jatuh berguguran dan memikirkan Kattrina yang entah berada dimana. Cahaya matahari menelusup melalui celah-celah daun yang sempit, tiba-tiba aku melihat dia tersenyum dihadapanku.
“Krystal?” Aku terkejut menemukan wanita ini disini. Kamera kesayangannya menggantung dileher. “Sedang apa kau disini?”
Dia tersenyum, “Aku sedang mengejar langit.” Jawabnya singkat namum mampu membuatku merasakan semangatnya.
“Benarkah?” Aku memastikan. Dia mengangguk. Tubuhnya terbalut mantel biru langit yang tidak terlalu tebal, rambutnya di ikat sempurna, serta dia mengenakan sepatu kets berwarna cerah. “Kau tidak kedinginan?”
“Ah, aku … baik-baik saja.” Dia sadar jika aku memperhatikan penampilannya pagi ini, lalu dia tertawa senang. benar-benar gadis yang periang.
“Mau minum teh?” Tawaranku disambut anggukan ringan darinya. “Kajja.”
“Oppa, sepagi ini sedang apa disini?” Dia bertanya sambil berusaha mengikuti langkahku.
“Kau tidak tau jika rumah ku dekat dari sini?”
“Benarkah?” Dia terkejut.”Tapi Onew oppa bilang rumahnya bukan disini.” Gumam gadis itu pelan.
“Ya! Coba lihat, untuk apa kau bertanya tentangku pada Onew.” Aku melihat matanya terkejut dan pipinya merona merah. Dia tidak bisa menjawab pertanyaanku. “Krystal?”
“Aaa, itu oppa.” Lagi-lagi pipinya merona merah. Apa gadis ini tertarik padaku?
“Pakai ini, kau bisa mati kedinginan.” Aku menggantungkan mantelku pada pundaknya. Dia tertegun, lagi-lagi wajahnya memerah.
***

Krystal POV

“Pakai ini, kau bisa mati kedinginan.” Dia menggantungkan mantel pada pundak ku. Aku tertegun, lagi-lagi rasanya aku seperti meleleh.
“Oppa, tapi aku sudah pakai mantel.” Bisik ku. Dia mendekat lagi dan melepaskan mantel biru langit milik ku.
“Pakailah punyaku, itu sangat hangat.” Senyumnya mengembang. Aku baru sadar jika ternyata Minho memiliki sisi baik juga.
“Kamsahamnida.” Ucapku lirih.
“Kenapa kau jadi kaku begitu?” Dia menatap wajahku.
“Ne? Aku baik-baik saja.”
“Lebih baik kau membuat kegaduhan. Meracaulah, jika tidak aku akan cepat bosan pergi denganmu.”
Aku tertegun. Sosok pria disampingku ini sudah membuatku melupakan dunia yang sedang berputar. “Baiklah. Tapi, oppa harus janji akan mendengar dan menjawab semua pertanyaanku.”
Dia meng-iya kan begitu saja.
“Oppa, siapa cinta pertamamu?” Pertanyaan itu jelas membuatnya terkejut.
Dia bergeming. “Seorang wanita, tentunya.”
“Aha, aku tau itu.”
“Kau jangan menangis jika aku menceritakannya.” Dia tersenyum.
Dahiku berkerut, “Menangis karena apa?”
“Cemburu mungkin.”
Sial, kalimatnya sangat tepat. “Tentu tidak.” Aku berbohong.
Dia tertawa, “Namanya Kattrina. Tapi, tunggu. Aku tidak yakin jika dia cinta pertamaku, karena sebelumnya ada Hyun Soo, ah sebelum Hyun Soo aku pernah bertemu gadis yang lain, siapa namanya ya?” Dia pura-pura berfikir.
“Banyak sekali.” Aku memalingkan wajah, menatap riak-riak kecil di sungai han.
“Sudahlah, aku tidak tega menceritakannya padamu.”
Aku berbalik, “Ayolah oppa, ceritakan.”
Aku merengek sepanjang perjalanan menuju ferrari nya, namun dia tetap menolak menceritakan apapun.
***

“Onew oppa. Kau tau mengenai Kattrina?” Onew oppa menghentikan permainan gitarnya.
“Kau tau Kattrina?”
Aku sedikit ragu. “Aku tau dari Minho oppa, tapi dia tidak mau menceritakan tentang wanita itu padaku.”
“Lalu?” Onew oppa sepetinya menangkap gelagat aneh.
“Oppa bisa menceritakannya padaku?” Aku merengek padanya, “Ayolah, oppa.”
“Dengar, aku ingin bertanya satu hal padamu.”
“Apa itu?”
“Kau menyukai Minho?” Pertanyaan itu terlalu tiba-tiba. Aku menunduk dan mengangguk lemah, sejak dulu aku paling tidak bisa menyembunyikan apapun dari oppa. “Jika benar begitu, sebaiknya kau mulai menjauhinya.”
Aku terkesiap, “Kenapa?”
“Karena Kattrina adalah cinta pertama yang tidak pernah bisa dia lupakan. Dulu, Minho jatuh cinta pada seorang gadis Rusia beranama Kattrina. Mereka begitu akrab, sampai suatu hari Kattrina memutuskan menikah dengan orang lain, menghiraukan Minho yang menyatakan ketulusan hatinya dan meninggalkan Minho begitu saja.”
Aku tertegun.
“Aku hanya tidak ingin kau kecewa, jauhi saja dia dulu.”
“Oppa.”
“Iya?”
“Jika setelah aku menjauhinya dan ternyata perasaan ini tetap ada, seperti Minho pada wanita itu. Aku harus bagaimana?”
Onew oppa membelai rambutku lembut. “Jika itu terjadi, aku akan membantumu.”
Aku memeluk kakak kesayanganku itu erat.
***

“Oppa.” Aku berteriak padanya, satu tanganku dilambaikan. Dia berjalan dengan sangat tenang, mata tajamnya menatap lurus padaku dan hari ini dia tersenyum. Aku bisa merasakan senyum tulusnya itu, senyumnya berbeda dari perkenalan pertama kami dulu.
“Ada apa mengajakku kesini?” Ucapnya lirih, dia mendekatkan mulutnya ke telingaku.
“Aku ingin oppa membantuku membelikan hadiah untuk ulang tahun Onew oppa.” Aku menjentikkan jariku, membentuk huruf centang dan mengedipkan sebelah mata.
“Ya! Kenapa malah meminta pendapatku? Harusnya kau bawa Jessica, kakak perempuanmu. Dia pasti lebih mengerti.”
“Unnie banyak pekerjaan, jadwalnya padat minggu-minggu ini.” Aku menunjukan wajah kecewa.
“Oh, ya sudah. Sekarang kita kemana?” Dia mengedarkan pandangannya. Belum sempat aku menjawab, seseorang menabrak bahuku hingga membuat tubuhku oleng dan hampir jatuh ke tanah. Tapi, seketika aku merasakan sesuatu menahanku. “Ya! Watch your step.” Minho berteriak pada wanita yang menabrakku tadi. Tangan namja itu menahan kedua bahuku, sementara wajahku hanya beberapa senti dari wajahnya yang sedang berbalik kearah lain. “Kau tidak apa-apa?” Dia menatap langsung ke mataku. Kami tertegun cukup lama, lalu dia melepaskan bahuku hingga aku benar-benar jatuh ketanah.
“Aish, oppa.” Ucapku dengan menahan sakit di lutut.
Dia ikut berlutut, “Kau tidak apa-apa.” Tanya Minho cemas.
“Harusnya oppa tidak melepaskan ku tadi.” Aku menatap matanya, dia menunduk. Sekilas, aku melihat wajahnya memerah.
“Mian.” Ucapnya lirih.

Minho POV

Matanya tepat menatap padaku, wajah kami hanya beberapa senti dipisahkan oleh udara. Aku terkesiap setelah tertegun cukup lama memandang matanya, refleks aku melepaskan bahunya. Aku benar-benar terkejut.
“Aish, oppa.” Dia merengek seperti biasa. Aku tersadar dan ikut berlutut.
“Kau tidak apa-apa?”
“Harusnya oppa tidak melepaskan ku tadi.” Dia menatap mataku, wajahku panas serta detak jantungku tidak teratur, matanya seperti memiliki cahaya yang entah kenapa membuatku begitu ingin terus melihatnya.
“Mian.” Ucapku lirih. Lalu, aku merasakan tangan hangat miliknya menyentuh ujung pipiku.
“Oppa, kenapa pipimu merah?” Dia bertanya dengan polos.
Aku terkesiap, benarkah pipiku memerah? Aku tidak memjawab dan membantunya berdiri.
Wanita itu menggamit lenganku, “Ayo oppa.” Kami berjalan dengan tempo lambat dan ritme yang teratur, “Kira-kira aku harus membeli apa ya?” Dia bergumam dengan mata yang menjelajah etalase-etalase cantik yang berjajar. “Menurutmu apa oppa?”
Aku terkejut mendengar perkataannya, entah kenapa aku jadi begitu terhipnotis dengan situasi ini. Lihat saja, aku sama sekali tidak menolak dia menggamit tanganku, aku menjadi pendiam dan merasa gelisah, seolah-olah takut membuat kesalahan. “Mungkin kau harus membelikannya itu.” Aku menunjuk sesuatu disudut toko.
Dia menoleh, “Alat rajut?”
“Ne, sesuatu yang dibuat oleh tanganmu sendiri akan sangat berarti untuknya.” Aku tersenyum menatap matanya yang berbinar.
“Baiklah, kita beli itu saja.”

Kami duduk berdampingan menghadap danau, sementara diam-diam sudut mataku selalu memperhatikan nya yang kini sibuk merajut. Aku sedang berfikir dan merasakan perasaan aneh ini, tiba-tiba suara halusnya memecah perdebatan dikepalaku.
“Ah, bunga aster.” Dia memekik. Seorang gadis kecil berlari dihadapan kami dengan membawa sebuket aster merah yang cantik.
Aku menatapnya bingung. “Kenapa?”
Dia tersenyum, “Oppa tau makna dari bunga aster?”
Aku menggeleng.
“Itu adalah lambang dari perhatian dan keikhlasan. Konon jika ada seorang pria yang memberikan bunga aster pada wanita, itu menjelaskan bahwa dia menganggap wanita itu adalah wanita yang terbaik untuk masa depannya.” Dia tersenyum dan kembali merajut.
Aku tertegun, “Lalu apa kau mengaharapkan seseorang memberimu bunga aster suatu hari nanti?”
Dia berfikir sejenak, lalu menatapku. “Tentu, tapi aku tidak memaksa.”
“Apa maksdumu dengan kata tidak memaksa.” Aku mmemalingkan wajahku dari matanya yang berbinar.
Dia tersenyum dengan diselingi tawa kecil. “Oppa.” Bisiknya lirih.
“Hm, wae?”
“Gomapta.” Dia tersenyum lembut.
Aku tertegun, menatap guratan-guratan bahagia diwajahnya membuat hatiku ikut merasa senang. “Ne, cheonmaneyo.”
***

Pagi-pagi sekali aku bangun, menyiapkan segala hal yang aku butuhkan dan pergi mengendarai Ferrari ku menuju Yonsei University, tempat dimana Krystal mempelajari lebih dalam mengenai fotografi. Sebuket aster merah bertengger dengan anggun di samping jok kemudi, dalam sepuluh menit aku sudah sampai disana.
Luna, wanita yang disebut-sebut sebagai teman baik Krystal itu datang menghampiriku. Aku membutuhkannya untuk memberitahu Krystal bahwa aku menunggunya, namun wanita itu berkata jika Krystal mengambil cuti untuk beberapa bulan kedepan. Sedikit kaget memang, tadinya hari ini aku ingin mengajak Krystal pergi ke Namsan Tower. Secepat mungkin aku menghubungi Onew, namun dia sama sekali tidak menjawab panggilanku. “Coba saja kau cari kerumahnya.” Ucap Luna hangat. Tanpa berfikir, aku berlari secepat mungkin, menginjak pedal gas dan memacu Ferrari putih itu ke suatu tempat.
“Onew.” Onew membuka pintu dengan wajah pucat, nampaknya dia baru saja bangun tidur.
“Ah, kau. Ada apa pagi-pagi sekali kemari?”
“Hm.” Sedetik aku ragu mengungkapkan maksud kedatanganku padanya. “Aku boleh bertemu Krystal?”
Onew bergeming. “Krystal sedang berlibur dengan ibu ke London. Wae?”
Aku menghujam tatapanku pada tanah. “Tidak, tadinya aku ingin memberinya sesuatu. Ya sudah, aku ada urusan.” Langkahku terasa sangat berat, seperti ada yang hilang. Krystal, kenapa dia pergi tanpa memberi tau ku?
Hatiku luruh.
Aku memang bukan siapa-siapa, lagipula sejak kapan aku begitu peduli pada wanita itu. Ah—aku mungkin sudah gila.
***

Minho POV

Dua Tahun berlalu.

Krystal, nama itu selalu aku ingat sepanjang dua tahun belakangan ini. Semenjak hari itu, aku sama sekali tidak melihatnya berkeliaran disekitarku. Dia menghilang begitu saja, meninggalkan ku yang tersadar bahwa aku mulai mencintainya.
Bagaimana bisa seorang wanita dapat selalu terlihat dimata ku? Ketika terlelap, dia menghitam dibalik mimpi, saat mentari membangunkan mataku, dia seperti melintas, memberiku semangat untuk menjalani hari ini bersamanya. Namun saat aku tersadar, dia sama sekali tidak ada. Bagaimana bisa seorang wanita berjalan memenuhi seisi fikiranku, begitu cepat dan dia bertahan begitu lama. Krystal berhasil membuatku melupakan Kattrina, dia membuatku terbangun dengan harapan-harapan bahwa aku dapat melihat lagi wajahnya. Krystal, dimana wanita itu sekarang?
“Harusnya hyung tidak mengacuhkan wanita itu dahulu.” Taemin memecah lamunanku.
“Dulu aku belum menyadarinya.” Aku menyesap esspreso hangat ditanganku.
“Manusia memang selalu menyesali keterlambatannya.” Perkataan itu seperti menohok ku.
“Kau sudah bertanya pada Onew?” Tanyaku pada Taemin.
Taemin mengangguk. “Sudah dan jawabannya persis sama seperti yang dia katakan padamu. Hyung, bagaimana jika kau mengejarnya ke London?”
“Ya!” Aku memukul kepala bocah itu. “Kau fikir akan mudah mencarinya?”
“Betul juga. Moving on saja? Lagipula mungkin Krystal juga sudah melupakan hyung.”
“Ya! Kau ini benar-benar tidak bisa diajak bicara.” Aku melangkah keluar dari coffee shop dan menyusuri sepanjang jalan menuju rumahku.

“Oppa.” Sebuah suara halus terdengar ketika aku baru saja hendak membuka pintu rumah. Aku terkejut mendapati sosok Krystal dihadapanku. Ah— ini pasti hanya tipuan mataku lagi, seperti biasa aku memejamkan mata, mencoba menghapus ilusi-ilusi berbentuk wajahnya yang memang terjadi hampir setiap hari.
Tuhan, jika memang ini hanya sebuah imajinasi dari fikiranku saja, maka saat aku membuka mata, aku berharap sosok itu sudah terhapus waktu.
Cahaya memasuki mataku, aku mencari sosok itu namun dia sudah tidak terlihat dimanapun. Aku menghembuskan nafas kecewa, “Ternyata memang fikiranku saja.” Ucapku pada diri sendiri. Tiba-tiba tangan halus menyentuh punggungku, aku menoleh, “Krystal?” Bisikku lirih dan terkejut.
“Oppa, aku merindukanmu.” Dia tersenyum dengan senyuman manis yang selalu aku rindukan. Aku berbalik, mencoba menyentuh pipinya.
“Ini benar kau?” Ucapku tidak percaya. Dia tak henti-hentinya tersenyum. Seketika, aku mendekap tubuh mungil itu. “Jangan pergi lagi.”
“Oppa.” Bisiknya lembut dan terkejut.
***

“Apa kau lelah?” Tanyaku pada Krystal. Gadis disampingku itu menatap langit dengan mata sayu. Dia mengangguk.
Kami sekarang duduk ditepian sungai han, ini permintaan pertamanya setelah hampir dua tahun ini wajahnya menghilang dari pandanganku. Hampir dua tahun juga aku mencarinya, menunggunya juga begitu merindukan mata cantik itu menatapku, merindukan suara hembusan nafasnya yang terdengar lirih seperti angin, merindukan dia tertawa disampingku. Krystal, tidak dapatkah kau merasakannya? Aku sangat merindukanmu, apa kau juga begitu?
“Sangat. Aku sangat lelah oppa.” Dia tersenyum padaku.
“Kau dari mana saja?” Dia bergeming. “Sebegitu jauhkah perjalanannya hingga kau terlihat begitu lelah?”
“Sebetulnya tidak sejauh itu.” Dia tertawa disampingku. “Apa oppa merindukanku?” Lanjutnya lagi.
“Ya! Kau menghilang tiba-tiba, jadi aku hanya mencemaskanmu saja. Lain kali pamitlah terlebih dahulu, mengerti?”
“Wajah mu memerah, oppa.” Dia tertawa ringan.
“Benarkah?” Aku kikuk.”Ah, paling karena matahari yang bersinar terik. Kulitku memang sensitive.”
Dia tersenyum dan tidak mendebat ku seperti biasanya. “Oppa.” Bisiknya lembut.
“Apa?”
“Jika aku berpenampilan layaknya wanita-wanita cantik itu, apa kau akan menyukai ku?”
Aku terkesiap, mataku bergerak pada beberapa model wanita yang sedang melakukan photo session disekitar sini. Aku berbalik lagi menatap Krystal, wanita itu mengeluarkan kameranya, dia beranjak dan berdiri dihadapanku. “Oppa.” Ucapnya lagi, “Saranghae.” Kata itu keluar bersama blitz kameranya yang memecah pennglihatanku.
Krystal, apa aku tidak salah dengar?
***

Jessica POV

“Unnie, tolong ajari aku caranya memakai benda-benda ini.” Krystal menunjuk kotak make up milikku.
“Memangnya kenapa?” Aku tersenyum heran. Biasanya adikku ini tidak terlalu peduli dengan penampilannya, asalkan bisa memotret angkasa dia pasti sudah sangat senang.
“Aku ingin terlihat cantik seperti unnie juga seperti teman-temanku yang lain.” Dia memperhatikan dirinya sendiri di depan cermin.
“Kau sudah terlihat cantik meskipun tidak menggunakan semua ini.” Aku mencoba membuatnya faham jika cantik itu tidak hanya dilihat dari penampilan atau wajahnya saja.
“Tapi…” Dia mengetuk ketukan sebelah kakinya dilantai.
“Cantik itu tidak hanya dilihat dari sisi ini, Krystal.”
“Aku tau, tapi aku ingin berubah, unnie. Aku ingin seperti wanita kebanyakan.” Dia tertawa parau. Aku beranjak dari tempat ku duduk dan mengambil beberapa dress dari lemari.
“Baiklah, besok kau pakai ini ya. Temui aku di studio, setelah selesai pemotretan aku akan mengajarimu caranya.” Aku tersenyum.
“Gomawo unnie.” Dia berjingkrak senang dan melangkah keluar dari kamarku.
“Krystal, apa kau sedang berkencan?” Aku bertanya sebelum adikku itu benar-benar menutup pintu.
Dia tertegun. “Aku menyukai seseorang.”
“Minho ssi?”
Dia hanya tersenyum dan meninggalkanku dengan kesimpulan yang jelas.
***
Onew POV

“Oppa.” Jessica menghampiriku yang sedang sibuk dengan kamera baru milikku.
“Wae?”
“Krystal sedang dekat dengan siapa akhir-akhir ini.” Adikku ini bertanya dengan wajah serius.
“Memangnya kenapa?” Aku sedikit berfikir. “Kau ada masalah lagi dengan Krystal?” Kedua adikku ini memang sering berselisih paham, masalahnya hanya satu yaitu karena mereka jarang sekali bertemu dirumah, jarang mengobrol dan melakukan interaksi antara adik dan kakak. Kesibukan Jessica yang padat membuat Krystal lebih sering bercerita padaku dibandingkan dengan kakak perempuannya yang juga adalah adikku, Jessica.
Dia menggeleng. “Aku hanya khawatir padanya.”
“Khawatir karena?”
“Dia tadi secara tiba-tiba ingin merubah penampilannya. Padahal oppa sendiri tau jika Krystal tidak pernah mempermasalahkan soal penampilan atau sebagainya, apa dia sedang berkencan hingga seperti itu?”
Aku tertegun, perkataan Jessica tadi seperti mengingatkanku pada masalah Krystal yang dulu. “Dia baik-baik saja, aku yakin itu.”
“Oppa, kau harus menceritakannya padaku. Aku tidak percaya jika dia baik-baik saja, akhir-akhir ini dia sering melamun. Aku tidak bodoh oppa!”
Jessica menatapku tajam, aku menyerah. “Baiklah, adik kita itu sedang menyukai seorang pria.”
“Siapa? Minho?”
“Tepat.” Ucapku kagum. Ikatan batin diantara mereka memang sangat kuat sekalipun mereka sering bertengkar.
“Sudah aku duga. Oppa harus melakukan sesuatu.”
“Iya, ini sedang aku fikirkan. Lagi pula, aku sudah berjanji akan membntunya.” Ucapku lirih, kami berdua tertegun menatap jutaan awan yang melintas lambat dilangit kota Seoul.
***

Minho POV

“Apa yang kalian lakukan?” Aku menatap Taemin dan Sulli yang berdiri dihadapanku sambil berpegangan tangan.
“Hyung, aku ingin minta izin untuk mengencani adik mu.”
Aku tersentak. “Ya! Tunggu dulu. Choi Sulli, kau berniat melangkahi ku huh?”
Sulli menjulurkan lidahnya, “Salah siapa tidak mengencani wanita! Aku perhatikan pekerjaan oppa hanya pergi ke sungai han dan melamun, jadi jangan salahkan aku jika aku mendahuluimu.”
“Aish, kau memang tidak pernah sopan padaku.”
“Pokoknya izinkan kami!” Rengek Sulli.
“Memangnya aku ini siapa sampai kalian perlu mendapat izin ku? Pergilah dan minta izin pada ibu.” Ucapku sedikit berteriak.
“Sudah ku bilang kan jika kita tidak perlu minta izin oppa.” Bisik Sulli pada telinga Taemin.
“Aku hanya takut hyung tidak setuju dan menyalahkan kita pada akhirnya, bukannya sifatnya seperti itu?” Balas Taemin.
Aku bergeming, menatap Sulli dan Taemin yang sekarang saling mendebat. Di tambah mereka benar-benar membicarakan ku, tiba-tiba ponselku bergetar. “Yoboseo?”
“Oy Minho, ini aku.”
“Oh, hyung. Ada apa?” Aku menyernyitkan dahi, heran pada diriku sndiri. Sejak kapan aku menjadi begitu sopan pada Onew?
“Kau sedang sibuk?”
“Tidak.” Jawabku.
“Kalau begitu bisa temui aku di tempat bias? Ada hal penting yang perlu aku bicarakan padamu.”
“Masalah apa hyung?” Aku merasa tidak punya terlalu banayak urusan dengan pria ini.
“Krystal, adikku.”
Aku terkesiap, rasa gugup datang menghampiriku. “Ok.”
Aku menutup flap ponsel dan menatap kosong pada dua orang yang sedang menatapku dengan tatapan heran, “Apa?” Kataku ketika sadar tengah diperhatikan. Mereka saling pandang dan kembali menatapku.
“Sudahlah, pergi kemanapun kalian suka! Aku tidak peduli. Asalkan jangan berada didepan ku dengan wajah seperti itu.” Ucapku setengah menyerah.
***

Aku tiba di coffee shop tempat Onew menunggu. Tidak sulit mencarinya di tempat seperti ini, kurang dari satu menit aku sudah menemukan orang yang ku cari.
“Hyung.” Sapa ku sambil menarik kursi dan duduk.
“Cepat juga. Oya, aku ingin minta bantuanmu.”
Tadi dia bilang ada yang perlu aku ketahui, sekarang minta bantuan. Benar-benar pria yang rumit hyung ini. “Apa?”
“Ini masalah Krystal.”
Aku terhenyak.
“Bisakah kau mencintainya?” Lanjut Onew yang ditanggapi dengan rasa terkejut dariku. “Tidak apa sekalipun pura-pura, karena sebelum dia pergi aku ingin melihatnya bahagia.”
“Ada apa ini hyung, kau membuatku bingung. Memang Krystal akan pergi kemana?”
“Miasthenia Gravis akut, dia mengidap penyakit itu. Kondisinya semakin memburuk akhir-akhir ini.”
Mata ku membulat. Penyakit ini jika tidak salah adalah penyakit gangguan autoimun yang mengganggu sistem sambungan saraf, artinya sistem imun dalam tubuh yang seharusnya melindungi diri malah berbalik menjadi menyerang organ-organ dalam tubuh terutama sistem sambungan saraf (synaps). Pantas selama ini dia sering terlihat pucat dan kelelahan.
“Dia sangat mencintaimu, bahkan selama dua tahun ini pun dia masih merasakan perasaan itu padamu. Choi Minho, aku mohon kau bisa berpura-pura mencintainya.” Lanjut Onew.
Aku menahan diriku, mencoba menenangkan diri setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu. “Hyung, aku tidak bisa berpura-pura mencintai seseorang.”
“Minho, aku mengerti jika kau masih memikirkan Kattrina. Tapi …” Kalimatnya segera ku sergah.
“Bukan begitu, hyung. Hanya saja semenjak bertemu dengan Krystal, aku jadi jarang teringat Kattrina. Awalnya aku menyangkal, namun aku sadar bahwa aku ternyata mulai mencintainya.”
Onew menatapku dengan wajah lega.
“Hyung, izinkan aku menggantikan tugas mu untuk menjaganya.” Lanjutku lagi.
“Ah, kau tidak perlu minta izin padaku.”
Ya Tuhan, kenapa aku melakukan hal sama seperti yang Taemin lakukan tadi?
“Lalu sekarang Krystal dimana?” Tanyaku dengan nada ingin tau.
Onew menyesap kopi miliknya. “Sebaiknya kau segera menyusulnya. Tadi pagi Jessica bilang padaku bahwa Krystal memintanya untuk merubah penampilan Krystal, aku tidak tau apa maksud adikku itu. Tapi, setau ku Krystal bukan tipe manusia seperti itu.”
Aku tertegun, perkataannya di tepi sungai han kemarin seperti memberikan ku jawaban. “Hyung, aku harus segera pergi.” Aku berlari secepat yang aku bisa.
***

Krystal POV

“Kau dimana?” Suara Minho terdengar begitu panik.
“Aku di studio menemani unnie. Wae oppa?” Dia langsung memutuskan percakapan kami tanpa menjawab pertanyaanku.
Aku duduk menghadap kaca besar yang melilit seluruh ruangan ini. Ku perhatikan diriku satu-satu, mata, hidung, bibir dan wajah yang merona merah. Rasanya tidak ada yang aneh, hanya saja setiap bertemu dengan namja itu aku jadi merasa—seperti kepanasan. Entah apa yang salah, yang jelas musim panas sudah lama berlalu.
Tiba-tiba seorang yeoja datang, dia tersenyum padaku dengan sebuah kotak besar berwarna silver ditangannya. “Sudah siap?” Ujarnya ramah. Aku mengangguk. Dia mulai mengeluarkan beberapa benda dari kotak itu dan mulai melukis wajahku, eyes shadow, blush on, lipstick, ditempel dengan sangat perlahan dan teliti.
“Unnie, jangan terlalu tebal. Ok?” Aku sedikit mengintip hasil kerjanya.
“Tenang saja, akan ku buat se-natural mungkin.”
Tiba-tiba suara pintu terbuka, mengagetkanku. Mataku masih terpejam ketika derap sepatu itu menghujam tanah dan mendekatiku, “Siapa yang datang unnie?”
“Hm itu …” Unnie belum menyelesaikan kalimatnya hingga sentuhan lembut tiba-tiba menyentuh permukaan bibirku. Aku terkesiap, memaksakan membuka mata dan Ya Tuhan, apa yang kau …

Minho mendekap tubuhku setelah itu. Aku masih dalam keadaan bingung dan terkejut. Sosok unnie sudah tidak terlihat, jika dia meninggalkan kami itu berarti hanya ada aku dan Minho diruangan ini. “Oppa.” Bisikku ragu.
“Mianhae.” Dia kini mendekap ku lembut.
Aku tidak mengerti harus berkata apa, ciumannya yang tiba-tiba membuat diriku bingung.
“Jangan membenci ku karena selama ini aku begitu dingin padamu, jangan membenciku karena aku membuat mu berfikir jika kau harus merubah penampilanmu demi aku, dan juga jangan membenci ku karena aku telah mencium mu tanpa izin.”
Aku bergeming, mencoba mencerna kata-kata itu.
“Krystal, nado saranghae.”
Duniaku seperti berhenti. “Oppa, apa kau bercanda?”
Dia menggeleng. “Tentu tidak. Saranghae.”
Aku menyentuh permukaan punggungnya dan balas memeluk pria itu, “Gomawo, oppa.”
“Ne. Kau tau? Selama dua tahun ini aku sangat merindukanmu, harusnya kau jujur padaku jika kau pergi ke London untuk berobat. Jika kau bilang, aku mungkin akan menemanimu disana.” Dia mengatakan hal yang membuatku semakin terkejut.
“Oppa, kau tau hal itu dari mana?”
Namja itu bergeming. Aku melepas pelukannya.
“Jika oppa mencintaiku hanya karena kasihan, aku tidak bisa menerimamu.” Ucapku getir. Namja itu tersenyum dan menyentuh pipiku lembut dengan tangan kanannya.
“Kau tidak perlu khawatir, aku tidak mencintaimu atas dasar itu. Kau memang sudah berhasil membuatku jatuh cinta padamu dengan usaha-usaha konyolmu itu.” Dia terkekeh. Wajahku merona merah.
“Apa kau yakin oppa?” Tanyaku ragu.
Dia mengangguk, “Bagaimana jika kita pergi berkencan?” Usul oppa padaku.
Aku terkekeh “Tapi, aku harus menyelesaikan ini dulu.”
“Apa?” Minho sedikit bingung, tapi akhirnya dia mengerti. “Ah, apa perlu aku memanggil Jessica lagi?”
“Iya dan oppa tunggu saja diluar, aku malu jika kau melihatku.”
“Baiklah.” Pria itu berjalan dan kini tertelan pintu coklat besar.
Tuhan, terimakasih.
***
She smiled in a big way, the way a girl like that smiles. When the world is hers and she held your eyes. Out in the breezeway down by the shore in the lazy summer. And she pulled you in, and she bit your lip, and she made you hers. She looked deep into you as you lay together quiet in the grasp of dusk and summer… (dashboard Confessional)

Satu tahun berlalu.

Krystal POV

Ini adalah musim panas yang indah. Matahari bersinar terik, kicau burung saling bersahutan, angin hangat menerpa dan yang paling penting karena dia disisiku. Kami berbaring diatas pasir putih dengan tangan yang saling berpautan, tidak lama semenjak oppa menyatakan perasaannya, kami menikah dan ini adalah bulan madu pertama kami setelah enam bulan menikah. Bulan madu yang terlambat karena aku harus menjalani operasi tymus terlebih dahulu. Kami bahagia, sangat bahagia. Namun, penyakit ini semakin menggerogoti batang usiaku.
“Lihat, awannya seperti kelinci.” Tangannya membimbing mataku melihat segumpalan awan putih yang terlihat lebih mirip kucing.
“Itu kucing, oppa.”
“Kelinci, jagi. Kucing tidak mempunyai telinga sepanjang itu.”
“Tapi, ekor kelinci tidak menjuntai seperti itu.” Kami berdebat mengenai bentuk awan semenjak berbaring disini.
“Ah sudahlah.” Dia tersenyum. Aku membalasnya. “Apa kau baik-baik saja?”
“Tentu.” Jawabku. Oppa, kau pria yang baik.
“Aku tidak sabar menunggu sore hari, pasti akan sangat menyenangkan melihatmu berlari mengejar langit senja dan matahari terbenam.” Dia tersenyum riang, matanya menatap langit diatas kami.
Aku tertegun, ikut merasakan semangatnya dalam hatiku. “Iya, sepertinya menyenangkan.”
“Kau tau tidak?” Bisik dia tepat ditelingaku.
“Apa itu oppa?”
“Kau cantik.” Dia mengecup kedua kelopak mataku.
***

Minho POV

Malam merambati langit pulau Jeju, sementara Krystal berdiri dengan wajah serius menata makan malam kami. Semenjak menikah dia menikmati kesibukannya sebagai istriku, setiap hari dia memasak, menata meja, merapikan tempat tidur dan memelukku dengan hangat. Dia berkata padaku bahwa dengan cara seperti inilah dia menjadi begitu berarti dan dapat melupakan penyakit yang dideritanya.
“Sudah selesai?” Tanyaku.
“Sudah oppa.” Dia menggamit tanganku dan menuntunku untuk duduk.
“Kelihatannya lezat.” Aku menarik bahunya dengan lembut dan mengecup keningnya. “Gomapta jagi.”
Dia tersenyum. “Oppa, bisakah kita terus seperti ini?” Bisik Krystal ragu. “Saling menggenggam, mendekap senja dan mencintai selamanya?”
Aku tertegun, memperhatikan senyum indah itu. Dia tersenyum dengan sangat manis, menatap dengan mata yang lembut, bicara dengan suara yang halus, bernafas dengan anggun dan mencintaiku dengan sempurna.
“Tentu jagi.”
“Oppa.” Dia menyentuh wajahku.
“Wae?”
“Aku takut.” Dia berbisik sangat lirih.
“Takut kenapa? Aku akan menjagamu.” Air matanya meleleh, aku tau ketakutan yang sekarang sedang dihadapinya. “Jangan menangis jagiya.” Aku mendekap tubuh itu.
***

Aku masih enggan memejamkan mata, entah kenapa. Semburat jingga sudah tampak dilangit, aku melirik jam besar yang tergantung. Sudah pagi ternyata. Angin musim panas masuk melalui celah-celah jendela, hangat dan menentramkan. Sementara wajah cantik miliknya masih tertidur, matanya masih terpejam dan dia tersenyum dengan caranya seperti biasa. Krystal menarik selimut tipisnya, dia mengeliat dan membuka matanya. “Setiap melihat matamu, aku seperti menemukan dunia.” Ucapku lirih. Dia tersenyum.
“Selamat pagi oppa.”
“Kau cantik sekali pagi ini.” Wajah wanita itu memerah. Tangan halus nya menyentuh wajahku. Aku mulai merapatkan wajahku padanya, pagi ini dia terlihat sangat pucat. Bibirku menyentuh permukaan bibirnya yang dingin, sedetik, dua detik, tiga detik dan pada detik berikutnya dia sudah tidak membalas ciumanku. Aku tertegun, membuka mataku perlahan dan mengangkat wajahku agar bisa melihatnya dengan jelas. Matanya terpejam, tangannya yang tadi mendekapku lemas terkulai menghujam ranjang putih kami. Air mata mulai mengalir dari sudut kesedihanku, “Krystal? Jagi?” panggilku dengan suara parau. Aku menangis, kali ini benar-benar menangis. Ku peluk tubuh itu perlahan, degup jantungnya sudah tidak terasa, nafasnya tidak lagi terdengar, tubuhnya begitu dingin dan lemas. Maafkan aku karena aku telah membiarkan diriku untuk kehilanganmu.
***

Pada akhir musim dingin.

Aku mengenakan kemeja kebanggaanku, mematut diriku sekali lagi dicermin dan menatap kamera kesayangannya. Setelah hampir dua tahun menikahinya, dia tidak pernah menangis lagi. Dia selalu mencoba tersenyum dan menyambut pagi dengan hangat. Dia belajar memasak, bernyanyi, menungguku pulang kerja, serta mengerjakan hal-hal kecil lainnya. Aku sudah kehilangan sosok cantik itu sekarang.
Ferrari ku melaju perlahan, aku mengijak pedal rem dan melangkah keluar. Deburan ombak serta semilir angin musim dingin menerpa wajahku. Hari ini bulan ke lima semenjak dia pergi, semenjak dia meninggalkan kami semua disini. Sebuah pusara terlihat, aku meletakan aster merah serta lily putih diatasnya.

Bunga aster adalah lambang dari perhatian dan keikhlasan. Konon jika ada seorang pria yang memberikan bunga aster pada wanita, itu menjelaskan bahwa dia menganggap wanita itu adalah wanita yang terbaik untuk masa depannya.

Perkataan Krystal seperti terekam didalam kepalaku. Memang, semenjak bertemu denganmu aku merasa kau memang yang terbaik untukku, kau berpendar seperti bintang dan aku merasakan cinta yang begitu mendalam untuk pertama kalinya. Krystal, bahagialah disana.
Aku membiarkan diriku menangis. “ Tidakkah kau dapat melihat ku, Krystal?” Aku menatap langit. “Aku ada disini, dapatkah kau melihatku dari atas sana?”
Semilir angin meniup helai demi helai rambutku.

Aku mengerti bahwa hidup terkadang membiarkan kita sendiri, juga terkadang membiarkan kita bersama-sama. Bagiku tidak masalah jika kita tidak dapat bersama selamanya,
Tapi…
Sekalipun begitu, pada kenyataannya aku sangat merindukan mu.
***










/EPILOG/

Krystal POV

Aku terbangun teramat pagi.
Mataku melihat sosok Minho berbaring dengan tangan yang menjagaku, rasanya seperti mimpi berbaring bersamanya. Ini seperti sihir, caranya memelukku, menjagaku, bicara padaku, memandangku malah membuatku makin jatuh cinta padanya. Setiap hari aku merasakan diriku jatuh cinta, lagi dan lagi. Aku sedikit bangkit, mengecup bibirnya lama.
“Choi Minho, apa didalam mimpimu kau melihatku?” Bisikku lirih.
Pemilik nama Choi Minho itu seperti terusik, dia merubah posisi tidurnya. “Krystal, jagiya. Mana makananku?” Ucapnya lirih dengan mata yang masih terpejam.
Aku terseyum. Tiba-tiba aku merasa sangat lelah dan pusing, aku membaringkan kepalaku disampingnya. “Aku akan bertahan sampai esok pagi, aku ingin melihat senyummu terlebih dahulu.” Bisikku.


Subang, 12 Januari 2012.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Intang Kartika Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei