Cinta itu kayak permen karet ya, kadang ga sengaja keinjek,
nempel disepatu, nempel ditangan, dipipi, dibaju atau dimanapun tempat itu. Permen
karet tetep permen karet, nempel, lengket
dan tentu aja susah buat dilepas,
dibersihin mungkin juga bakal terus ada bekasnya
(persis kayak sepatu gue yang ga bisa gue cuci selama lima tahun karena noda
bekas permen karet itu). Well, itu cinta menurut versi gue—permen karet!
Waktu gue smp gue pernah jatuh cinta sama satu cowo, namanya
dia. Dia temen seangkatan gue, juara olimpiade matematika (kalau ga
salah). Entah kenapa gue bisa suka sama cowo itu, kalau karena dia pinter—gue sama sekali gak yakin,
pasalnya cowo pinter itu dimata gue sama rata kayak cowo-cowo lainnya selama
dia ga punya attitude sebagus nilai matematikanya di rapot. Nah, parahnya, dia inilah sepatu gue yang ga bisa gue
cuci selama lima tahun itu—sepatu dengan noda permen karet dibagian depannya—cowo
pertama yang bikin gue terus berharap selama lima tahun. Dia yang sukses bikin cinta pertama gue penuh bekas noda permen
karet, ironis.
Hidup gue ga berhenti sampai situ, dua tahun setelah gue
lulus SMP, gue baru tau kalau dia mulai
suka sama cewe. Sebenernya ini bukan hal yang mengejutkan, justru diem-diem gue
seneng dalam hati sendiri—akhirnya gue punya
alasan buat nyerah. Tapi, lagi-lagi entah kenapa cewe itu juga punya alasan
buat bikin penderitaan ini makin sempurna— cewe itu mulai muncul dikehidupan
gue, bertanya tentang ini itu dan akhirnya suatu hari cewe itu pernah nanya
tentang hubungan gue sama dia dimasa
lalu, masa sebelum cewe itu kenal sama dia—finally,
cewe itu mukul bola tepat didepan muka gue dan gue cuma bisa pasrah ngejawab
semua pertanyaan itu. Kalau diinget-inget, kenapa cewe itu ga ngebiarin gue
ngelamun sendirian diteras rumah, main ujan-ujanan, mandi di shower dan setelah
itu minum coklat panas sambil liatin gerimis dari kaca jendela persis kayak
adegan mellow didrama korea, kenapa coba ga gitu? Setidaknya itu terlihat sedikit
lebih keren dari pada gue jadi cewe pasrah yang menguak cerita terburuk dalam
sejarahnya sendiri. Yah, tapi kesimpulan gue dari semua yang terjadi adalah
mungkin hidup ga akan seru tanpa itu—mungkin.
Tapi pada akhirnya gue jadi temen juga sama cewe itu, sampai
sekarang—sampai gue nulis ini gue masih tulus nganggep cewe itu temen gue dari
temen gue dan sama-sama temen gue, alah ribet. Sudahlah, toh gue udah ninggalin
cerita itu, ninggalin perasaan gue sama cowo bernama dia itu.
Sekarang, gue hidup sama orang baru, namanya Rio. Rio bisa
bikin gue sepuluh kali lebih baik dari dia,
mungkin karena satu kata ajaib yang kita punya, tentu aja ‘cinta’ . Ternyata memiliki seseorang yang sama-sama mencintai kita
itu mampu menebus semua rasa sakit gue selama lima tahun lalu, gue punya hidup
baru dan gue punya tujuan baru sekarang. Tuhan memang tau apa yang sebenernya
kita butuh, kalau aja lima tahun lalu gue sama dia mungkin gue ga pernah bisa sebahagia sekarang, kalaupun bisa
bahagia mungkin hanya sekedar bahagia, karena akhirnya gue tau kalau dia dan gue itu ga akan pernah bisa satu
jalan, kami berbeda jauh.
Mungkin pembahasan megenai Rio bisa gue lanjutin
kapan-kapan, karena masih banyak yang perlu disusun dan masih banyak part yang
belum lengkap.