Rabu, 25 Juli 2012

26 7 12

Diposting oleh Intang Kartika di 21.39 2 komentar
Aku tidak pernah menduga ternyata 'jatuh cinta' itu rasanya seperti jatuh berguling dari tangga dengan sepuluh undak--terlalu singkat.
Saat aku bertemu pria itu, aku yakin tidak ada hal yang perlu aku perjuangkan--karena memang dari awal aku tidak tertarik dengan hubungan 'pacaran' yang sekarang tentu saja sudah berakhir dengan sad ending--tapi, pria itu meyakinkanku untuk memulai masuk dalam hidupnya, membiarkanku mengatur dirinya dan membuatku mencandui segala hal yang dia berikan--sebut saja 'cinta'nya.
Aku tau, setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan dan semua ini rencana Tuhan. Namun, rasanya tetap saja menyakitkan, merasa kehilangan dan sendiri. Mungkin dunia berputar selalu secara semestinya setiap detik, tapi tidak untukku saat pria itu melangkah keluar dari 'dunia' milikku. Aku butuh energi lebih untuk melangkah tanpa membiarkan mataku basah, Tuhan jika memang seperti ini seharusnya maka ringankanlah hatiku untuk menjauh--jika saja dia memang bukan untukku. Namun, harapanku tetap sama, Tuhan--Jadiakan dia milikku lagi dan jadikan hatinya hanya untukku.
Semoga, amin..

Jumat, 20 Juli 2012

Biar bagaimanapun, cinta hanya butuh satu muara.

Diposting oleh Intang Kartika di 07.49 0 komentar

Biar bagaimanapun, cinta hanya butuh satu muara.


“Dit.” Sentuhan suara lembut itu menyentuh telingaku, aku menoleh dan memandang gadis itu mendekat. Senyumnya mengembang, entah mengapa aku merasakan waktu berhenti sejenak saat ini, aku terpaku pada wajah itu—wajah cantik yang sangat kusayangi.
“Ya, Na?” Kusentuh sedikit ujung pipinya yang bersemu merah saat gadis itu sudah duduk disampingku. Dia tertegun menatap kedua mataku lembut, lalu berpaling pada kaca transparan didepan kami—memandang ratusan bola lampu yang timbul redup disepanjang penjuru kota Jakarta yang indah. Setetes air mata mengalir gamang disebelah pipinya, aku tau hal ini pasti akan terjadi.
“Aku lelah, Dit,” Ucapnya getir. “Lelah menjadi wanita kedua dihidupmu.” Namun begitu bola matanya masih hangat menatapku, dia tersenyum lagi hingga membuat suasana begitu membeku.
“Aku tau, maaf.”
Dia menggenggam tanganku, menuntun telapak tangan kasar ini mengusap pipinya yang lembut. Aku bergeming, cinta memang sudah membutakan segala macam intuisi ku, aku mencintainya disaat pernikahanku dengan wanita itu sudah berlalu lima tahun lamanya. Aku memang tidak pernah tau jika pertemuan kami akan sampai pada situasi ini, pada kenyataan bahwa cinta adalah hal tabu untuk kami rasakan, pada sebuah hubungan yang sangat kita yakini bahwa ini semua akan berakhir menyedihkan.
“Aku tidak bisa mempertahankan mu, Na.” Ucapku dengan penuh rasa sesal pada wanita anggun bernama Narnia itu. Dia masih menunduk menggenggam tanganku yang mendingin, air mata tidak berhenti mengalir, di ucapkannya beberapa kata yang lirih sekali.
“Aku mengerti.” Ucap Narnia, dia lalu diam.
Kutarik tanganku, lalu kurengkuh wanita rapuh itu dalam pelukanku.

Ini mungkin berakhir seperti seharusnya, seperti rencana Tuhan yang menginginkan kami bersama untuk waktu yang sesingkat ini. Tidak ada yang kusesalkan, bertemu Narnia seperti menyimpan pelangi didasar hatiku—dia menjadikan semuanya indah dan berwarna. Namun, mungkin ikatan kami hanya untuk sebatas ini, sebatas saling mencintai tanpa harus memiliki lebih jauh lagi, karena biar bagaimanapun cinta hanya butuh satu muara, dan itu ada pada sisi hati lain yang sekarang sedang aku genggam.
Aku berharap kepada Tuhan, semoga wanita baik yang hatinya pernah diberikan untukku itu bahagia dengan jiwa lain, dengan pria baik yang pantas untuknya, dan tentu saja muara sesungguhnya untuk Narnia. Selamat tinggal, sampai jumpa.

Sabtu, 02 Juni 2012

Bisakah kau berjalan secara sederhana, cinta?

Diposting oleh Intang Kartika di 18.02 2 komentar
 Apa yang terjadi padaku?
Seketika dia menyentuh hidupku begitu saja, persis waktu itu saat mata kami bertemu. Awalnya aku tidak pernah menyadari akan jatuh cinta padanya, hingga detik berikutnya dia menggenggamku dengan tatapan itu. Sungguh, aku bersedia memberikan apapun asal hidupku bisa kembali normal, kembali berjalan secara sederhana.
Kenapa cinta membuat hidupku begitu sulit dan sempit? Dia menempel dikeningku, membuatku selalu menanti saat-saat bertemu dengannya, aku mencari sosok itu sepanjang aku tidak menemukannya dalam jangkauan pandangku, aku jarang berfikir rasional, lalu beranjak bodoh, terlebih karena perasaan cinta ini memperbudak seluruh sistem syaraf yang kumiliki.
Lalu sampai dimana segalanya bisa berakhir? Sampai dia aku miliki? Atau sampai waktu satu minggu ini berlalu begitu saja dan aku harus memulai menyusun hidupku kembali dari nol?

Jika saja cinta bisa berjalan secara sederhana, normal dan dalam batas yang wajar--mungkin aku bisa melangkah tanpa merasa diikuti oleh bayangannya setiap hari. Tuhan, bagaimana ini?
Subang, 3 Juni 2012.

미안 해요, Soo Jung-aa.

Diposting oleh Intang Kartika di 13.18 0 komentar
Yunho mengerang, dia melempar ponselnya kelantai dan beranjak mencari botol kecil berisi obat penenang yang akhir-akhir ini sering dia konsumsi. Yunho meneguk dua butir sekaligus, dia masih terduduk di wastafel hingga perasaannya berangsur-angsur membaik. Pria itu kini menatap wajahnya sendiri dicermin, dia langsung menunduk ketika mendapati air mata mulai mengalir perlahan—sungguh, ini adalah cobaan tersulit dalam hidupnya.
Yunho mengaku bahwa dia telah melakukan kesalahan besar. Disuatu waktu dalam hidupnya dia pernah dicintai oleh seorang wanita sederhana bernama Park Soo Jung, wanita anggun dengan segudang kesabaran. Namun, Tuhan seperti marah pada Yunho sekarang. setelah pria itu membiarkan Park Soo Jung pergi begitu saja, kini dia begitu membutuhkan gadisnya. Paling tidak, Yunho sekarang merasa menjadi pecundang besar.
Yunho merebahkan badannya disofa, rasa lelah kini menjalari seluruh tubuhnya. Dia memejamkan mata, mungkin ini saatnya untuk pria itu beristirahat sebelum dia mulai mencari lagi keberadaan gadis itu.
***
Park Soo Jung memincingkan matanya, sinar matahari sudah masuk melalui gordennya yang tipis. Dia menggeliat dan beranjak mencuci muka. Tidak butuh waktu lama untuk Soo Jung menikmati paginya, secangkir kopi kini sudah menyalurkan kafein ke peredaran darahnya, suara penyanyi kesayangannya pun sudah mengalun merdu ditelinga gadis itu, namun tetap saja ada yang kurang—sesuatu didalam hidupnya memang sudah lama hilang.
Banyak yang mengatakan bahwa hidup memang terkadang dipersulit oleh hal-hal kecil yang sebetulnya mudah, itu terjadi pada Soo Jung. Jika saja dia mau berbaik hati memaafkan sikap acuh Yunho dan bertahan disisinya, mungkin dia bisa merasa lebih sempurna lagi sekarang. yunho, ya pria itu menjadi segalanya dihidup Soo Jung selama beberapa tahun terakhir. Dari pertemuan pertama hingga detik ini Soo Jung masih merasakan getaran yang sama saat mengingat Yunho, dia benar-benar mencintai pria itu.
Lalu, kenapa wanita ini lari dari pria terkasihnya?
Alasannya sederhana, malam itu pada akhir musim dingin Yunho menyuruhnya menunggu disebuah restoran mewah disekitar gangnam. Wanita itu sudah begitu yakin jika Yunho akan melamarnya, dia menunggu dengan perasaan cemas namun Yunho tidak pernah datang.

Soo Jung meletakan cangkir berisi kopi itu dimeja, dia meraih ponselnya yang berkedip lalu mengangkat panggilan masuk diponselnya riang. “Kim Hee Jun?”
“Wanita bodoh, kemana saja kau?” Orang bernama Hee Jun itu berteriak dari sana, membuat Soo Jung harus menjauhkan ponselnya beberapa detik dari telinganya.
“Hey hey, tunggu sebentar. Kau sudah lama tidak bicara denganku, jadi jangan mulai percakapan ini dengan marah-marah.” Gadis itu terkekeh.
“Aku tidak bisa untuk tidak marah pada gadis nakal sepertimu. Kau apakan artisku hingga dia terlihat kacau akhir-akhir ini?” Hee Jun mendengus kesal.
Soo Jung bergeming, dia lalu membuang nafasnya “Apa Yunho baik-baik saja?”
“Mana mungkin dia baik-baik saja! Dia menjadi sangat menyebalkan setahun belakangan ini, pulanglah atau angkat teleponnya.”
“Aku tidak bisa, Hee Jun.”
“Mau sampai kapan kau bersikap dingin padanya? Percayalah, malam itu Yunho tidak bisa datang karena ada pekerjaan mendadak.” Hee Jun kini mulai kesal bicara dengan gadis itu.
“Sudahlah, aku tidak mau membicarakan hal ini sekarang.” Soo Jung menutup ponselnya kesal—entah kenapa, sekalipun hati gadis itu membutuhkan Yunho, namun dia masih belum bisa memaafkan sikap Yunho yang seenaknya.
***
“Aish, aku bisa gila.” Pekik seorang pria dengan style girly itu. pria itu menutup ponselnya dan berjalan menuju sofa, dia memincingkan mata Yunho lalu mendengus kesal. Hari ini ada beberapa jadwal pemotretan, namun artis asuhannya itu malah sibuk menghukum dirinya sendiri—lihat saja kantung mata yang sudah begitu besar diwajahnya, haruskan dia menutupi semua itu dengan make up tebal setiap hari? Hee Jun terduduk disofa, bagaimanapun juga dia harus melakukan sesuatu, jika tidak mungkin pria ini akan mati siang nanti.
Hee Jun melangkah dengan secangkir air dingin, dikucurkannya air itu perlahan hingga membuat pria bernama Yunho itu terperanjat. “Ya! Apa yang kau lakukan padaku.”
Hee Jun mendelik kesal, “Bangunlah, aku akan membuat pengakuan padamu.”

Yunho merasa jengah, Hee Jun membawanya kepantai dengan Ferrari canggih miliknya. “Sebenarnya kau mau membawaku kemana, hah?” Pekik Yunho.
“Aku akan membawamu ke sumber energimu.” Dia terdiam beberapa saat. “Harusnya aku sudah mengatakan hal ini dari dulu.”
“Apa?”
“Aku tau keberadaan Soo Jung, aku yang membantunya mengasingkan diri darimu.”
Yunho menatap wajah managernya itu geram, rasanya ingin sekali dia memukul pria itu tepat diwajahnya.
“Wow wow, tenang dulu, man.” Seperti dapat membaca fikiran Yunho, Hee Jun cepat cepat menjelaskan semuanya. “Wanita mu melarangku mengatakan apapun, ayolah Yunho maafkan aku.” Dia terkekeh saat mobilnya memasuki sebuah rumah dengan banyak bunga bermekaran. “Masuklah, aku yakin dia ada didalam.
Yunho terlihat ragu sejenak, namun itu tidak berlangsung lama ketika dia menekan bel pintu itu dan mendengar suara yang begitu dia rindukan berkata lembut padanya. “Hee Jun kah?” Seketika pintu terbuka, wanita itu terkejut melihat kedatangan Yunho dirumah kecilnya.
“Bagaimana bisa aku mencintai wanita sepertimu?” Bisik Yunho, dia menahan dirinya untuk tidak sesegera memeluk Soo Jung. Hatinya kesal, namun dia tidak bisa merasa kesal ketika menatap wajah itu.
“Kenapa kau bisa sampai disini?”
“Harusnya kau meminta maaf padaku, kan? Kenapa tidakkau lakukan?” Ucap Yunho dingin. Soo Jung bergeming, wanita itu tidak bisa mencerna kata-kata Yunho dengan baik. Dia menunduk dan mulai menangis.
Yunho memandang gadisnya, rasa perih itu menjalari tubuhnya. Dengan perlahan Yunho mendekap tubuh Soo Jung, membiarkan gadis itu menangis dan membiarkan rindunya menguap sedikit demi sedikit. “Maafkan aku.” Bisik Yunho. Gadis itu mengangguk, dia mulai membalas pelukan Yunho.
“Ingatkan aku jika aku lupa untuk mengatakannya” Yunho terdiam sejenak, dia terlihat menelan udara kedalam paru-parunya dan membuangnya kembali. “Kau perlu tau, aku tidak dapat menghilangkan senyum indahmu begitu saja. Kau meninggalkan jejak-jejak disini, membuatku mengikutinya lagi dan lagi untuk kembali padamu—pernahkah kau merasa begitu baik ketika memandang wajah seseorang? Aku kini sedang merasakannya, ketika memandangmu aku tau bahwa aku mencintaimu. Ingat itu dan maukah kau kembali padaku?”
Soo jung tersenyum, dia melepas pelukan erat mereka dan menatap wajah pria yang selama ini dikaguminya. “Tentu saja.” Bisik Soo Jung mantap.


 Subang, 3 Juni 2012.

Jumat, 01 Juni 2012

You are the best one, of the best ones.

Diposting oleh Intang Kartika di 23.03 0 komentar

Terinspirasi dari the secret’s in the telling – Dashboard Confessional.

Because you’ll be somebody’s girl and you’ll keep each other warm. But tonight, I’m feeling cold..

Author POV
Jin Woon tertegun.
Dia menekan keningnya yang sedikit memar lalu menunjukan raut wajah kesakitan. Memang benar, luka itu belum sembuh benar ternyata—sama seperti luka dihatinya yang sama sekali tidak membaik.
“Aku bisa bertahan disisimu, asalkan kau mau melepaskanku untuk pria itu.”
Jin Woon tersenyum sinis dari tempatnya duduk sekarang. Perkataan itu pernah satu kali didengarnya dari seseorang yang begitu berarti untuk Jin Woon—seorang gadis bermata teduh yang telah lama mengisi hidupnya, gadis yang memberinya kebahagiaan dan juga menghancurkan hidupnya sekaligus. Sungguh, jika Jin Woon mempunyai kekuatan untuk tidak menatap wajah gadis itu, mungkin sekarang dia sudah pergi jauh dari hidup gadisnya, mungkin juga sekarang dia sudah hidup bersama orang lain yang dapat mencintainya secara lebih wajar. Namun, cinta memang menghalau langkah Jin Woon untuk itu. Jin Woon menyerah pada kenyataan jika dia harus menjadi pria kedua dihidup Park Jiyeon.
“Jin Woon.” Sebuah suara lembut menyentuh ujung telinga pria bertubuh tegap itu. “Keningmu masih sakit?”
“Tentu saja, nuna.”
Wanita yang dipanggil nuna tadi duduk disisi Jin Woon, “Sudah aku bilang kau harus berhati-hati. Bagaimana bisa kau menabrak pohon ketika mengemudi? Untung saja hanya keningmu yang terluka.”
Jin Woon tersenyum, dia menggenggam tangan kakak perempuannya lembut. “Aku baik-baik saja, Nuna.” Dia lalu beranjak, mengambil mantelnya dan berjalan menuju pintu kamarnya.
“Sekarang kau mau kemana lagi?”
“Aku ada janji dengan Jiyeon.” Seketika pintu tertutup begitu saja.
***
Park Jiyeon tersenyum kearah seorang pria yang kini sedang berjalan menghampirinya, tangan pria itu menggenggam sebuket besar mawar merah. Jiyeon tersenyum, namun orang bodohpun pasti akan tau jika dia tidak sedang merasa bahagia sekarang—senyumnya palsu, kegembiraan yang selalu ditampakkannya juga semuanya palsu. Rasa cemas itu kini menggeluti seisi hati Jiyeon, dia sangat menyesal ada ditempat ini dan menunggu pria itu sekarang.
“Jiyeon, kau baik-baik saja?” Pria itu kini sudah duduk disamping Jiyeon dan menggenggam tangan gadis itu lembut. Jiyeon tersentak dari lamunannya dan tersenyum getir. “Kau sakit?” Ucap pria tampan itu cemas. Jiyeon hanya tersenyum dan melepas tangannya dari kehangatan yang tidak dia inginkan itu. “Ibu menginginkan kita tiba dirumah sebelum pukul tujuh malam nanti, kau bisa datang kan?”
Jiyeon sedikit berfikir, “Tentu saja, Kimbum. Aku pasti akan datang.”
Pria bernama Kimbum itu tersenyum senang, “Harusnya aku bersyukur karena Tuhan telah mempertemukan kita.”
Ah, lupakan kata-kata itu. Kejadian sebenarnya adalah ibu merekalah yang telah merencanakan semua ini, perjodohan, itulah faktor terpenting yang membuat hidup Jiyeon menjadi begitu hambar.
“Setelah ini kau mau kemana?” Tanya Jiyeon tanpa merespon perkataan Kimbum tadi.
“Aku ada urusan disekitar gangnam, kau mau ikut denganku atau bagaimana?”
“Aku juga ada keperluan disekitar sini, jemput aku dirumah saja ya?” Jiyeon beranjak dari tempatnya duduk, harum bunga musim semi mengapit langkahnya pagi itu. Jiyeon tau tidak ada hal yang bisa dia lakukan saat ini kecuali bertemu dengan Jin Woon, karena setiap bertemu dengan pria itu Jiyeon tidak perlu berpura-pura menjadi orang lain.
***
Jin Woon POV
Kami berpegangan tangan dengan erat dibawah pohon flamboyan tua sambil sesekali mengagumi bunga-bunga yang berjuang untuk mekar disepanjang taman ini. Aku menoleh pada wanita itu dan memandangnya begitu lama hingga aku menyadari jika dia memang merupakan segala hal yang aku butuhkan dalam hidup ini. Demi Tuhan, aku ingin sekali membawanya pergi menjauh dari sini—dari segala hal yang menginginkan kami berpiah. Namun, akankah dia setuju dan bersedia mengikuti langkahku?
Aku menghembuskan nafas berat dan kembali menatap udara dihadapanku, ini sungguh menyulitkan kami.
“Jin Woon?” Bisik Jiyeon lembut.
“Ya?”
“Kenapa kau begitu pucat?” Sepasang tangan meyentuh permukaan pipiku. Aku sedikit tersentak dan menatap wajah teduh itu heran. “Kau sakit?”
Aku menggeleng, bagaimana bisa aku merasa sakit ketika melihat mata indah itu menatapku? Jiyeon, mungkin aku bisa gila jika kehilangannya.
Jiyeon tersenyum, “Maafkan aku, Jin Woon.”
“Maaf untuk apa?”
“Karena aku tidak punya pilihan lain selain melepaskanmu, Jin Woon.”
Angin mendesir, aku terpaku menatap ketidakpercayaan bahwa hal ini akan aku dengar begitu cepat. “Apa ini kalimat perpisahan?”
Jiyeon menunduk cukup lama. “Ya, malam ini keluargaku dan Kimbum akan membicarakan tanggal pernikahan kami. Jin Woon, lepaskan aku.”
Aku membuang udara yang sedari tadi aku tahan diparu-paruku, lalu berkata dengan amat lirih pada wanita itu. “Aku hanya akan berkata satu kali, Jiyeon. Jadi, dengarkan baik-baik!” Ucapku datar, entah apa yang ada dalam fikiranku sekarang—hanya saja hatiku berkata jika hubungan kami tidak akan pernah berakhir. “Aku tidak akan melepaskanmu. Tidak akan pernah!” ku gamit tangan halus itu kasar dan menuntunnya menyusuri sepanjang jalan ini.
“Jin Woon.” Jiyeon mencoba melepaskan genggamanku, tapi aku tetap menyeretnya hingga sampai dipintu mobil.
“Masuklah, akan ku ajak kau ke suatu tempat.”
***
Jiyeon POV
Suara gemuruh deburan ombak menyentuh telinga kami berdua, aku menatap wajah Jin Woon—namun dia masih terlihat marah. Aku menghela nafas ringan, Jin Woon akan begitu menyeramkan ketika marah, jadi aku akan memilih diam sampai dia mau membuka suara untukku. Tapi, kenapa kami harus kepantai?
“Turun.” Pintanya padaku ketika kami sudah lebih dekat ke bibir pantai. Aku menurut dan mengikuti langkahnya dari belakang. Pria itu berjalan dengan tenang, menatap lautan lepas tanpa sedikitpun menunjukan ekspresi apapun. Apa yang sekarang sedang dia fikirkan? Apa dia sekarang sedang memikirkan kami? Atau dia malah sedang merencanakan hidupnya yang baru selepas kami benar-benar berpisah nanti? Aku sama sekali tidak tau. Tapi rasanya memang sulit melepaskan pria sebaik Jin Woon, dia selalu melakukan yang terbaik untukku, dan sekarang aku hanya bisa membalas segala pengorbanannya dengan rasa sakit.
Jin Woon berbalik ketika aku masih sibuk berfikir sendiri, “Kau bosan ada disini?”
Aku tersentak, cepat-cepat aku tersenyum dan menggeleng.
“Kalau begitu, kita duduk disini menunggu matahari tenggelam ya?” Pinta Jin Woon dengan mata berbinar, aku mengangguk dan duduk disampingnya. “Kau tau, Jiyeon?”
“Apa?” Bisikku perlahan.
“Aku bisa membawamu pergi, asal kau bersedia mengikutiku.” Sinar mentari menerpa wajah tampan itu, matanya dingin menatap lautan.
Aku terpekur, “Jin Woon, ada banyak hal yang tidak bisa aku lepaskan jika aku ikut bersamamu.”
“Apa itu?”
Hening sejenak sampai aku kembali berani membuka suara, “Ibuku.”
Jin Woon menghela nafas getir, aku tau jika sekarang dia tidak bisa mengucapkan kalimat lain untuk membujukku.
Kami berdua diam hingga senja menjemput dikejauhan.
***
Author POV
Sinar mentari pagi menelusup dibalik kaca jendela yang daun pintunya terbuka, menyentuh sebagian benda dikamar kecil dengan corak bunga anyelir itu. seorang pria menggeliat dari tidurnya semalam, dia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum menyadari jika wanita yang disampingnya sudah tidak ada. Pria bernama Jin Woon itu menyentuh keningnya untuk beberapa saat sebelum dia beranjak dari tidurnya dan menyambar mantel coklat dengan sangat terburu-buru.
Jin Woon baru saja keluar dari penginapan ketika matanya menangkap sosok tercintanya sedang menatap hamparan lautan didepan sana, setitik rasa lega menyambangi hati pria itu—setidaknya untuk saat ini.
Jin Woon menghampiri wanita itu tanpa ragu, lalu memeluk tubuh tercintanya hangat. “Aku fikir aku sudah benar-benar kehilanganmu.” Bisik Jin Woon lembut.
Segaris senyum tergambar dari wajah cantik itu. “Kau memang akan kehilanganku.”
Jin Woon menggeleng, rasa tidak rela masih menyelimuti pria itu. Entah untuk keberapa kali Jin Woon merasakan hatinya begitu perih dan takut.
Jiyeon melepas pelukan Jin Woon dan tersenyum, tidak berapa lama sebuah Lamborghini datang menghampiri mereka, Jin Woon menatap Jiyeon heran. Jiyeon hanya tersenyum dengan mata berair, “Kimbum sudah menjemputku, aku pulang.” Wanita itu berbalik tanpa sedikitpun menoleh kearah Jin Woon yang sekarang mematung ditempatnya.
Angin mengantar perasaan cinta Jin Woon diperbatasan, menyematkan perih yang begitu dalam dihati pria itu. Sekarang, tidak ada lagi yang bisa Jin Woon lakukan selain tetap mencintai Jiyeon—wanita terindah yang pernah mencintainya dengan sempurna.

Jiyeon-aa, sekalipun ini terasa menyakitkan, sekalipun kau meninggalkanku dan membuatku menangis. Namun, didunia ini ijinkan aku hanya mencintaimu—karena kau yang terbaik yang pernah aku miliki.
End.



Subang, 31 Mei 2012.
Intang Kartika.

Sabtu, 26 Mei 2012

Flamboyan dibatas Senja

Diposting oleh Intang Kartika di 20.13 0 komentar

  • Senja merambati langit diatas kami, cahayanya menyelinap dibalik daun-daun pohon flamboyan yang mulai memerah. Angin mempermainkan helai demi helai rambut ku, sementara jutaan anak malam sudah mengintip dari persembunyian mereka. Kami duduk berdampingan memandang hamparan padang ilalang luas disana, sesekali kami mendekap lutut masing-masing, merasakan dingin angin yang sibuk hilir mudik menghantam segala yang ditemuinya. Bandung, pada pertengahan desember 2011 aku merapat disisinya, melucuti wajah tampannya inchi demi inchi, mencium aroma tubuhnya satu demi satu, juga mendengarnya bicara kata demi kata. Aku jatuh cinta pada pria ini, dia memang pria yang sempurna.
    “Anne.” Sapa bibir lembut Remon padaku. Dia merogoh saku jaket biru pemberianku, di keluarkannya sebuah liontin berbentuk hati yang cemerlang. “Bagaimana? Bagus, tidak?”
    Aku terkesiap, pelan-pelan wajahku merona kemerahan. “Bagus.” Jawabku dengan nada yang tertahan.
    “Kira-kira, apa Veda akan menyukainya?” Dia bertanya dengan wajah riang, seketika harapanku luruh menyentuh bumi. Veda, gadis cantik berambut panjang, bermata coklat kehitaman, berkulit kuning dan memiliki senyum sebening embun itulah yang telah menyentuh hati sahabat ku ini, sekaligus merenggut seluruh harapanku untuk dapat bersamanya. Remon pernah berkata padaku jika Veda lah yang telah merubah hidupnya menjadi lebih baik, namun aku malah berfikir sebaliknya. Gadis itu membuat Remon menghabiskan hampir sebagian waktunya untuk bersama Veda, menghabiskan segalanya hanya untuk membuat gadisnya bahagia. Veda, dia memang gadis yang luar biasa.
    “Tentu, semua gadis pasti akan menyukainya.” Aku menyentuh ujung permukaan liontin itu, bentuk hati yang sempurna. Ku lepaskan kembali pandanganku pada ilalang bebas dihapadapan kami.
    “Kalau kamu mau, aku bisa belikan satu.” Bisiknya main-main. Aku tersenyum, dia mana mungkin serius. “Aku serius.” Lanjutnya lagi, seolah-olah dia tau apa yang baru saja ku fikirkan.
    Aku menggeleng, tentu saja aku tidak akan mau memakai barang yang sama persis dengan Veda—sekalipun itu pemberian dari Remon. Lagipula aku dan Remon hanya dua orang manusia yang saling mengerti, bukan dua orang yang saling mencintai.
    Langit sudah mulai kehilangan warna birunya, malam pun hadir mengisi celah-celah kekosongan diantara kami. Dengan berat hati, waktu memaksa kami untuk berbenah.
    ***
    Rindu.
    Tepat dibatas akhir tahun, aku merindukannya. Padahal sosok pria itu baru saja melesat bersama garuda putih untuk penerbangan ke Kalimantan, sial! Semalam kami baru saja bertengkar hebat, hanya karena dia dengan mendadak memberitahukan acara mutasinya ke Kalimantan. Bagaimana aku tidak kesal, setelah bertahun-tahun kami berteman, dia lebih memilih mengabari Veda dulu tentang ini daripada aku. Veda sudah tau satu bulan yang lalu, sementara aku hanya satu hari sebelum dia pergi. Kadang-kadang aku tidak bisa men-tolelir sikapnya, karena itu kami bertengkar. Sungguh, aku tidak bermaksud marah. Aku hanya terlalu cemburu, terlalu cemburu pada hubungan mereka yang begitu sempurna.
    Garuda itu semakin tinggi dan memutih bersama gumpalan-gumpalan awan. Sempurna! Sekarang aku hanya bisa mematung ditemani hiruk pikuk keadaan disekitarku, aku hanya dapat memandangi langit, merasakan perasaan menyesal yang amat banyak dan merindukannya. Jarak kami begitu jauh, sama seperti batas yang begitu kuat diantara kami. Remon, aku minta maaf.
    ***
    Semburat jingga memenuhi langit kota Bandung, awan putih kelabu membisu bersama ratusan burung yang bermigrasi ke selatan. Sementara aku masih tetap disini, mengisi paru-paru setengah penuh, menatap jejak rindu yang selalu berbentuk namanya dan mencintainya tanpa peduli seberapa sering dia mengacuhkan keberadaanku. Segumpal perasaan pernah pria itu bawa lari, yaitu pada desember setahun lalu. Dia berkata, “Besok aku akan pergi ke Kalimantan, Anne.” Lalu aku membisu, mencerna detik demi detik waktu yang merenggutnya dengan hati-hati.
    Bukankah ini lucu?
    Ketika kau mulai mencintai seseorang, namun dia sama sekali tidak mencintaimu? Kau berubah menjadi gila, memikirkannya, merindukannya, tanpa pernah dipedulikan sedetik pun. Tapi sekalipun kau tau semua kenyataan itu, kau tidak pernah bisa berhenti. Kau tetap mencintainya, mengharapakannya dan berimajinasi jika suatu hari nanti dia akan ada disisimu, memelukmu dengan hangat dan menyambut cintamu tanpa perlawanan.
    Bukankah ini lucu? Ya, ini semua memang lucu. Begitu juga ketika aku jatuh cinta padanya.
    Musim hujan di kota ini menyentuh ujung pipiku, seketika ponsel cantik pemberian ibu berdering. “Halo.”
    “Kau dimana? Cepat pulang, ini sudah sore.” Suara ibu terdengar sangat cemas. Aku tersenyum, ibu masih saja memperlakukanku seperti anak umur tujuh belas tahun. Padahal, anaknya ini sudah menginjak dua puluh delapan.
    “Iya, Anne pulang sekarang.” Aku melangkah dengan cepat menjejaki trotoar jalan yang runyam, lalu melompat ke dalam sebuah bus kota. Bandung telah lama mengabur, kota yang dulu disebut-sebut sebagai maskot kebanggaan kini sudah mulai tidak teratur. Sumpek, semerawut dan sesak menjejali setiap udara di kota ini. Aku duduk dekat jendela, bercermin pada semburat jingga matahari. Ternyata dunia sudah sejak lama berubah.
    ***
    “Bagaimana kerjaanmu? Betah?” Sapa bapa terdengar menghampiriku yang duduk diteras rumah.
    “Betah pak.” Ucapku masih sambil mengamati udara dihadapanku.
    “Temenmu yang sering ke sini itu kerja dimana sekarang?” Bapa menghisap rokok mild kebanggaannya. Aku masih mencerna perkataan beliau barusan, setelah hampir dua menit terdiam akhirnya aku mengerti orang yang beliau maksudkan.
    “Remon maksudnya pak?” Aku berhenti sejenak, mencoba merangkai kata yang tepat untuk bapak. “Dia sudah satu tahun yang lalu dimutasi ke Kalimantan. Setelah itu sudah gak ada kabar lagi, mungkin sibuk.”
    Bapak mengangguk tanda mengerti, “Pantes suaranya gak lagi kedengeran.”
    Aku tersenyum mendengar perkataan polos dari bapak. Dulu, Remon memang sering duduk bersamaku disini. Kami bercerita, menceramahi satu sama lain, bergurau dengan jutaan anak senja yang terpantul dari genangan air bekas mencuci motor milik bapak dan saling menghibur ketika salah satu diantara kami menangis. Remon adalah anak tetangga yang paling sering dimarahi bapak. Bapak memang terkenal tegas dan galak semenjak dulu—hingga sekarang, aku ingat saat Remon dimarahi habis-habisan karena tertangkap memetik bunga dipekarangan rumah kami. Bapak mungkin memang keterlaluan saat itu, tapi Remon tidak kalah nakalnya. Saat-saat seperti itu yang aku rindukan, sebelum semuanya mengabur bersama iring-iringan waktu yang begitu cepat berbenah. Kenangan-kenangan itu sekarang hanya tinggal sebatas debu, tanpa pernah diperdulikan lagi.
    Dua cangkir wedang jahe dihadapan kami masih mengepulkan asap segar, sesekali kulirik pinggiran cangkirnya. Motif bunga-bunga aster merah yang cantik, sama seperti gorden kelabu yang membalut jendela kamarku. Aku menghembuskan nafas berat, merasakan detak-detak kepahitan semenjak bayangannya hilang. Malam tertutup kabut, aku kembali mengakui bahwa aku sangat merindukan pria itu.
    Bias cahaya menghantam pohon jambu air di pekarangan rumah kami, seketika bunyi deru mesin mobil memecah perhatianku dan bapak. Sebuah Chevrolet captiva berwarna silver terparkir sempurna tepat didepan pagar bambu rumah kami.
    “Siapa itu?” Tanya bapak. Aku masih sibuk menerka siapa yang akan keluar dari jok kemudi.
    Seorang wanita anggun berparas cantik melangkah turun. Tangannya menggenggam sebuah bingkisan, sebelah lagi melambai padaku.
    “Veda?” Aku memekik. Heran campur senang bisa melihat wanita itu lagi.
    “Untung aku tidak tersesat.” Ucap wanita itu, kami berpelukan cukup erat.
    “Ada apa jauh-jauh datang kemari? Bagaimana kabarmu?” Aku memburunya dengan pertanyaan, sementara kami sudah duduk dengan nyaman di teras rumah.
    “Aku baik. Anne, sebetulnya aku membawa kabar baik untukmu.”
    Jantungku berhenti, ada rasa khawatir saat wanita manis itu memberikan sebuah undangan merah tua itu padaku. “Apa ini?”
    “Bulan depan, aku akan menikah,” Seketika, tawa yang pecah dari mulut Veda menghantam sudut hatiku. Luka mencair, serpihannya tercecer kemana-mana. Degup jantung ku berdebar lebih cepat saat membaca kata demi kata yang tertera disana. “Aku tidak tau apakah ini akan mengejutkan mu atau malah sebaliknya, tapi pria yang akan aku nikahi bukan Remon.”
    Aku tersentak, “Bukan Remon?”
    Dia mengangguk dengan tatapan pedih disekeliling matanya, “Kami sudah putus.”
    “Kenapa?”
    “Karena Remon hanya melihat satu wanita dalam hidupnya, dia tidak pernah benar-benar mencintaiku.”
    Aku tertegun, samar-samar kepedihan itu mengalir dimata cantik Veda.
    ***
    Aku menatap garis-garis tekun diwajah para pekerja konstruksi bangunan, sesekali melirik gedung canggih yang baru setengah jadi dihadapanku. “Gimana bu, sudah betul?” Suara Sumiarno si asisten arsitek menggema, aku menoleh mencoba mencari sosok pria tinggi itu.
    “Ah iya, Sam. Sudah sesuai kok.” Ucapku.
    “Setelah ini ibu mau kemana?” Dia masih mengekor langkahku.
    Aku tertegun sebentar lalu merogoh kunci avanza hitam di saku blazer merah muda yang sedang ku kenakan, “Tolong simpan mobil saya dirumah ya? Saya ada perlu sebentar.” Jawabku memberi pengertian padanya.
    “Ibu mau kemana? Perlu saya antarkan?”
    Aku menolak, perlahan sosok kepercayaanku itu tertelan hiruk pikuk gedung setengah jadi dibelakangku. Langkahku mulai menjejaki trotoar jalan yang menghubungkan lokasi proyek sampai halte bus didepan sana, mataku terpaku menatap layar ponsel sementara kakiku mulai terasa lemas. Setelah satu tahun Remon pergi dan tanpa kabar lagi setelahnya, akhirnya kabar darinya datang juga. Aku hampir terjatuh ketika selesai membaca sms dari pria bernama Remon itu, ku percepat langkahku dengan membawa rindu yang mulai tercecer dimana-mana.
    “Assalammualaikum.” Nafasku terengah ketika sampai didepan pintu rumah, mataku mencari-cari sosok yang sudah lama menghilang itu.
    “Ganti baju dulu.” Jelas suara ibu dari balik dapur, aku bergegas menghampiri beliau.
    “Bu, tadi ada Remon kesini?”
    “Iya, tapi tadi pamit sebentar.”
    “Kemana?”
    Ibu menggeleng, “ Kalau begitu Anne keluar dulu sebentar ya bu.” Lanjutku.
    “Mau kemana?” Aku terkejut, suara khas yang pernah hilang sekarang terdengar disudut rumahku.
    “Remon?”
    Dia tersenyum. Aku menatapnya penuh luka—antara rindu juga marah.
    ***
    Kami kembali disini, menatap rumpun ilalang lepas dihadapan kami. Pohon flamboyan yang dulu, masih setia menaungi tubuh kami dari matahari. Sudah satu tahun semenjak dia pergi, setahun juga aku tidak datang ketempat ini.
    “Kenapa gak kasih kabar?” Aku membuka percakapan kami dengan hati-hati.
    “Sibuk, terlalu sibuk tepatnya.” Suara itu menggetarkan rinduku. Aku kembali melucuti wajah tampannya, rinduku meluap bersama jutaan daun flamboyan yang meranggas.
    “Bagaimana hubunganmu dengan Veda?” Aku mencoba membuatnya bercerita, percakapan tadi malam memang mengganggu fikiranku.
    Dia tertegun, lalu tersenyum tanpa menatapku. “Sudah lama kandas.”
    “Kenapa?”
    Bola mata hitam itu bergulir menatapku, “Memangnya kenapa mau tau?”
    “Memangnya aku tidak boleh tau?” Wajahku memberengut.
    Dia tertawa melihat perubahan mimik wajahku, “Tidak ada hubungannya denganmu, jadi tidak perlu tau.”
    Aku menepis segala rasa yang pernah kufikirkan. Memang benar, dari dulu aku memang tidak pernah ada dihatinya. Tidak akan pernah ada. Lagipula, sejak kapan aku boleh berharap pada Remon? Bahkan kesempatanku berada dekat disisinya pun hanya karena kami bersahabat, aku memang terlalu naïf—kadang-kadang.
    “Jadi, kau rela melepaskan Veda untuk pria lain?” Aku menyodorkan sebuah undangan pernikahan wanita bernama Veda itu. Remon tidak sedikitpun menoleh, dia hanya mendesah berat dan berkata iya dengan tegas. “Kau jelas masih mencintainya, Remon.”
    “Tidak! Aku hanya,” Perkataannya berhenti, dia merebahkan tubuhnya pada rerumputan usang disekitar flamboyan ini. “Aku hanya merasa bersalah.”
    “Karena?”
    “Membohonginya selama bertahun-tahun. Mencintainya tanpa pernah merasakan cinta yang semestinya, dia hanya jadi korban rasa pengecut ku.”
    “Kau tau benar semua itu, namun kau tetap melakukannya?” Aku tertawa sinis.
    “Iya, aku memang pengecut, bukan?”
    Aku tersenyum, “Tidak, kau hanya belum berani menghadapi hal terpahit dalam hidupmu.”
    “Kau bahkan tidak pernah bertanya kenapa aku menjadi sangat pengecut selama ini?”
    Dahiku berkerut mendengar tanggapan pria itu, “Memang apa?”
    “Karena aku ingin membuat keadaan kita tetap normal,” Bisiknya lirih. Semilir angin memainkan detak-detak kecemasan yang meluap di jantungku. Perkataan pria itu seperti puzzle, susah di terka namun membuatku menjadi lebih ingin tau. “Seseorang pernah berkata padaku, bahwa cinta itu datang pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Cinta akan menggenggam mu dengan kuat dan menuntut mu berfikir cepat, begitu pula ketika aku mulai jatuh cinta pada seorang gadis periang bermata sayu. Kau tau apa yang kufikirkan saat itu?” tubuh pria itu kembali duduk, sorot matanya tajam menatap padaku.
    “Apa?” Bisikku dengan suara yang terdengar parau.
    “Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri? Bukankah ini konyol?”
    Seketika udara serasa tersumat di pangkal hidungku, jantungku memompa darah lebih cepat dan fikiranku seperti carut marut.
    Dia menghela nafas ketika tidak mendapati respon apapun dariku, lalu melanjutkan kalimatnya dengan lebih teratur. “Saat aku sadar tentang semua itu, aku mulai merasa takut. Jujur aku takut kau menghindar, memberi jarak yang semakin jauh untukku jika saat itu aku mengungkapkan segalanya. Maka aku memilih diam, hingga akhirnya Veda datang. Sempat aku berfikir, mungkin ini hanya perasaan sesaat yang pada akhirnya akan hilang jika aku mulai mengencani Veda. Tapi, kau tau benar itu salah. Sampai sekarang, aku tetap memandangmu,”
    Apa aku sedang bermimpi? Jika iya, maka aku ingin Tuhan membangunkanku.
    “Tapi sekarang aku tidak peduli,” Ucap Remon lagi, “Aku tidak akan menghindari kenyataan apapun.”
    Aku membuang wajah pada jutaan udara dihadapan kami. Ku atur debaran jantungku, mencoba memulihkan suaraku dan mencerna perkataan pria itu dengan kepala jernih. Aku jelas tidak sedang bermimpi, hanya saja ini semua seperti mimpi. Ketika aku mendapati segala harapanku tewujud, ketika perasaanku berbalas, ketika dia pada akhirnya mencintaiku, kalian pasti sudah bisa menebak apa yang akan aku katakan pada pria bernama Remon ini.
    “Jika saja dulu kau bisa sedikit lebih jantan, mungkin kita tidak perlu saling menyiksa diri selama ini.” Aku tersenyum, tangan kananku menggenggam jemarinya tanpa ragu. Setelah ini, aku akan membiarkan diriku berkata jujur. Aku tidak akan menutupi apapun, terlebih mengenai perasaanku pada Remon.

    SELESAI.
    Subang, 30 Januari 2011.
 

Intang Kartika Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei