Aku tidak pernah menduga ternyata 'jatuh cinta' itu rasanya seperti jatuh berguling dari tangga dengan sepuluh undak--terlalu singkat.
Saat aku bertemu pria itu, aku yakin tidak ada hal yang perlu aku perjuangkan--karena memang dari awal aku tidak tertarik dengan hubungan 'pacaran' yang sekarang tentu saja sudah berakhir dengan sad ending--tapi, pria itu meyakinkanku untuk memulai masuk dalam hidupnya, membiarkanku mengatur dirinya dan membuatku mencandui segala hal yang dia berikan--sebut saja 'cinta'nya.
Aku tau, setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan dan semua ini rencana Tuhan. Namun, rasanya tetap saja menyakitkan, merasa kehilangan dan sendiri. Mungkin dunia berputar selalu secara semestinya setiap detik, tapi tidak untukku saat pria itu melangkah keluar dari 'dunia' milikku. Aku butuh energi lebih untuk melangkah tanpa membiarkan mataku basah, Tuhan jika memang seperti ini seharusnya maka ringankanlah hatiku untuk menjauh--jika saja dia memang bukan untukku. Namun, harapanku tetap sama, Tuhan--Jadiakan dia milikku lagi dan jadikan hatinya hanya untukku.
Semoga, amin..
Rabu, 25 Juli 2012
Jumat, 20 Juli 2012
Biar bagaimanapun, cinta hanya butuh satu muara.
Biar bagaimanapun, cinta hanya
butuh satu muara.
“Dit.”
Sentuhan suara lembut itu menyentuh telingaku, aku menoleh dan memandang gadis
itu mendekat. Senyumnya mengembang, entah mengapa aku merasakan waktu berhenti
sejenak saat ini, aku terpaku pada wajah itu—wajah cantik yang sangat
kusayangi.
“Ya,
Na?” Kusentuh sedikit ujung pipinya yang bersemu merah saat gadis itu sudah
duduk disampingku. Dia tertegun menatap kedua mataku lembut, lalu berpaling
pada kaca transparan didepan kami—memandang ratusan bola lampu yang timbul
redup disepanjang penjuru kota Jakarta yang indah. Setetes air mata mengalir
gamang disebelah pipinya, aku tau hal ini
pasti akan terjadi.
“Aku
lelah, Dit,” Ucapnya getir. “Lelah menjadi wanita kedua dihidupmu.” Namun
begitu bola matanya masih hangat menatapku, dia tersenyum lagi hingga membuat
suasana begitu membeku.
“Aku
tau, maaf.”
Dia
menggenggam tanganku, menuntun telapak tangan kasar ini mengusap pipinya yang
lembut. Aku bergeming, cinta memang sudah membutakan segala macam intuisi ku,
aku mencintainya disaat pernikahanku dengan wanita itu sudah berlalu lima tahun
lamanya. Aku memang tidak pernah tau jika pertemuan kami akan sampai pada
situasi ini, pada kenyataan bahwa cinta adalah hal tabu untuk kami rasakan,
pada sebuah hubungan yang sangat kita yakini bahwa ini semua akan berakhir
menyedihkan.
“Aku
tidak bisa mempertahankan mu, Na.” Ucapku dengan penuh rasa sesal pada wanita
anggun bernama Narnia itu. Dia masih menunduk menggenggam tanganku yang
mendingin, air mata tidak berhenti mengalir, di ucapkannya beberapa kata yang
lirih sekali.
“Aku
mengerti.” Ucap Narnia, dia lalu diam.
Kutarik
tanganku, lalu kurengkuh wanita rapuh itu dalam pelukanku.
Ini
mungkin berakhir seperti seharusnya, seperti rencana Tuhan yang menginginkan
kami bersama untuk waktu yang sesingkat ini. Tidak ada yang kusesalkan, bertemu
Narnia seperti menyimpan pelangi didasar hatiku—dia menjadikan semuanya indah
dan berwarna. Namun, mungkin ikatan kami hanya untuk sebatas ini, sebatas
saling mencintai tanpa harus memiliki lebih jauh lagi, karena biar bagaimanapun cinta hanya butuh satu muara, dan itu ada
pada sisi hati lain yang sekarang sedang aku genggam.
Aku
berharap kepada Tuhan, semoga wanita baik yang hatinya pernah diberikan untukku
itu bahagia dengan jiwa lain, dengan pria baik yang pantas untuknya, dan tentu
saja muara sesungguhnya untuk Narnia. Selamat
tinggal, sampai jumpa.
Langganan:
Postingan (Atom)