Sabtu, 26 Mei 2012

Flamboyan dibatas Senja

Diposting oleh Intang Kartika di 20.13

  • Senja merambati langit diatas kami, cahayanya menyelinap dibalik daun-daun pohon flamboyan yang mulai memerah. Angin mempermainkan helai demi helai rambut ku, sementara jutaan anak malam sudah mengintip dari persembunyian mereka. Kami duduk berdampingan memandang hamparan padang ilalang luas disana, sesekali kami mendekap lutut masing-masing, merasakan dingin angin yang sibuk hilir mudik menghantam segala yang ditemuinya. Bandung, pada pertengahan desember 2011 aku merapat disisinya, melucuti wajah tampannya inchi demi inchi, mencium aroma tubuhnya satu demi satu, juga mendengarnya bicara kata demi kata. Aku jatuh cinta pada pria ini, dia memang pria yang sempurna.
    “Anne.” Sapa bibir lembut Remon padaku. Dia merogoh saku jaket biru pemberianku, di keluarkannya sebuah liontin berbentuk hati yang cemerlang. “Bagaimana? Bagus, tidak?”
    Aku terkesiap, pelan-pelan wajahku merona kemerahan. “Bagus.” Jawabku dengan nada yang tertahan.
    “Kira-kira, apa Veda akan menyukainya?” Dia bertanya dengan wajah riang, seketika harapanku luruh menyentuh bumi. Veda, gadis cantik berambut panjang, bermata coklat kehitaman, berkulit kuning dan memiliki senyum sebening embun itulah yang telah menyentuh hati sahabat ku ini, sekaligus merenggut seluruh harapanku untuk dapat bersamanya. Remon pernah berkata padaku jika Veda lah yang telah merubah hidupnya menjadi lebih baik, namun aku malah berfikir sebaliknya. Gadis itu membuat Remon menghabiskan hampir sebagian waktunya untuk bersama Veda, menghabiskan segalanya hanya untuk membuat gadisnya bahagia. Veda, dia memang gadis yang luar biasa.
    “Tentu, semua gadis pasti akan menyukainya.” Aku menyentuh ujung permukaan liontin itu, bentuk hati yang sempurna. Ku lepaskan kembali pandanganku pada ilalang bebas dihapadapan kami.
    “Kalau kamu mau, aku bisa belikan satu.” Bisiknya main-main. Aku tersenyum, dia mana mungkin serius. “Aku serius.” Lanjutnya lagi, seolah-olah dia tau apa yang baru saja ku fikirkan.
    Aku menggeleng, tentu saja aku tidak akan mau memakai barang yang sama persis dengan Veda—sekalipun itu pemberian dari Remon. Lagipula aku dan Remon hanya dua orang manusia yang saling mengerti, bukan dua orang yang saling mencintai.
    Langit sudah mulai kehilangan warna birunya, malam pun hadir mengisi celah-celah kekosongan diantara kami. Dengan berat hati, waktu memaksa kami untuk berbenah.
    ***
    Rindu.
    Tepat dibatas akhir tahun, aku merindukannya. Padahal sosok pria itu baru saja melesat bersama garuda putih untuk penerbangan ke Kalimantan, sial! Semalam kami baru saja bertengkar hebat, hanya karena dia dengan mendadak memberitahukan acara mutasinya ke Kalimantan. Bagaimana aku tidak kesal, setelah bertahun-tahun kami berteman, dia lebih memilih mengabari Veda dulu tentang ini daripada aku. Veda sudah tau satu bulan yang lalu, sementara aku hanya satu hari sebelum dia pergi. Kadang-kadang aku tidak bisa men-tolelir sikapnya, karena itu kami bertengkar. Sungguh, aku tidak bermaksud marah. Aku hanya terlalu cemburu, terlalu cemburu pada hubungan mereka yang begitu sempurna.
    Garuda itu semakin tinggi dan memutih bersama gumpalan-gumpalan awan. Sempurna! Sekarang aku hanya bisa mematung ditemani hiruk pikuk keadaan disekitarku, aku hanya dapat memandangi langit, merasakan perasaan menyesal yang amat banyak dan merindukannya. Jarak kami begitu jauh, sama seperti batas yang begitu kuat diantara kami. Remon, aku minta maaf.
    ***
    Semburat jingga memenuhi langit kota Bandung, awan putih kelabu membisu bersama ratusan burung yang bermigrasi ke selatan. Sementara aku masih tetap disini, mengisi paru-paru setengah penuh, menatap jejak rindu yang selalu berbentuk namanya dan mencintainya tanpa peduli seberapa sering dia mengacuhkan keberadaanku. Segumpal perasaan pernah pria itu bawa lari, yaitu pada desember setahun lalu. Dia berkata, “Besok aku akan pergi ke Kalimantan, Anne.” Lalu aku membisu, mencerna detik demi detik waktu yang merenggutnya dengan hati-hati.
    Bukankah ini lucu?
    Ketika kau mulai mencintai seseorang, namun dia sama sekali tidak mencintaimu? Kau berubah menjadi gila, memikirkannya, merindukannya, tanpa pernah dipedulikan sedetik pun. Tapi sekalipun kau tau semua kenyataan itu, kau tidak pernah bisa berhenti. Kau tetap mencintainya, mengharapakannya dan berimajinasi jika suatu hari nanti dia akan ada disisimu, memelukmu dengan hangat dan menyambut cintamu tanpa perlawanan.
    Bukankah ini lucu? Ya, ini semua memang lucu. Begitu juga ketika aku jatuh cinta padanya.
    Musim hujan di kota ini menyentuh ujung pipiku, seketika ponsel cantik pemberian ibu berdering. “Halo.”
    “Kau dimana? Cepat pulang, ini sudah sore.” Suara ibu terdengar sangat cemas. Aku tersenyum, ibu masih saja memperlakukanku seperti anak umur tujuh belas tahun. Padahal, anaknya ini sudah menginjak dua puluh delapan.
    “Iya, Anne pulang sekarang.” Aku melangkah dengan cepat menjejaki trotoar jalan yang runyam, lalu melompat ke dalam sebuah bus kota. Bandung telah lama mengabur, kota yang dulu disebut-sebut sebagai maskot kebanggaan kini sudah mulai tidak teratur. Sumpek, semerawut dan sesak menjejali setiap udara di kota ini. Aku duduk dekat jendela, bercermin pada semburat jingga matahari. Ternyata dunia sudah sejak lama berubah.
    ***
    “Bagaimana kerjaanmu? Betah?” Sapa bapa terdengar menghampiriku yang duduk diteras rumah.
    “Betah pak.” Ucapku masih sambil mengamati udara dihadapanku.
    “Temenmu yang sering ke sini itu kerja dimana sekarang?” Bapa menghisap rokok mild kebanggaannya. Aku masih mencerna perkataan beliau barusan, setelah hampir dua menit terdiam akhirnya aku mengerti orang yang beliau maksudkan.
    “Remon maksudnya pak?” Aku berhenti sejenak, mencoba merangkai kata yang tepat untuk bapak. “Dia sudah satu tahun yang lalu dimutasi ke Kalimantan. Setelah itu sudah gak ada kabar lagi, mungkin sibuk.”
    Bapak mengangguk tanda mengerti, “Pantes suaranya gak lagi kedengeran.”
    Aku tersenyum mendengar perkataan polos dari bapak. Dulu, Remon memang sering duduk bersamaku disini. Kami bercerita, menceramahi satu sama lain, bergurau dengan jutaan anak senja yang terpantul dari genangan air bekas mencuci motor milik bapak dan saling menghibur ketika salah satu diantara kami menangis. Remon adalah anak tetangga yang paling sering dimarahi bapak. Bapak memang terkenal tegas dan galak semenjak dulu—hingga sekarang, aku ingat saat Remon dimarahi habis-habisan karena tertangkap memetik bunga dipekarangan rumah kami. Bapak mungkin memang keterlaluan saat itu, tapi Remon tidak kalah nakalnya. Saat-saat seperti itu yang aku rindukan, sebelum semuanya mengabur bersama iring-iringan waktu yang begitu cepat berbenah. Kenangan-kenangan itu sekarang hanya tinggal sebatas debu, tanpa pernah diperdulikan lagi.
    Dua cangkir wedang jahe dihadapan kami masih mengepulkan asap segar, sesekali kulirik pinggiran cangkirnya. Motif bunga-bunga aster merah yang cantik, sama seperti gorden kelabu yang membalut jendela kamarku. Aku menghembuskan nafas berat, merasakan detak-detak kepahitan semenjak bayangannya hilang. Malam tertutup kabut, aku kembali mengakui bahwa aku sangat merindukan pria itu.
    Bias cahaya menghantam pohon jambu air di pekarangan rumah kami, seketika bunyi deru mesin mobil memecah perhatianku dan bapak. Sebuah Chevrolet captiva berwarna silver terparkir sempurna tepat didepan pagar bambu rumah kami.
    “Siapa itu?” Tanya bapak. Aku masih sibuk menerka siapa yang akan keluar dari jok kemudi.
    Seorang wanita anggun berparas cantik melangkah turun. Tangannya menggenggam sebuah bingkisan, sebelah lagi melambai padaku.
    “Veda?” Aku memekik. Heran campur senang bisa melihat wanita itu lagi.
    “Untung aku tidak tersesat.” Ucap wanita itu, kami berpelukan cukup erat.
    “Ada apa jauh-jauh datang kemari? Bagaimana kabarmu?” Aku memburunya dengan pertanyaan, sementara kami sudah duduk dengan nyaman di teras rumah.
    “Aku baik. Anne, sebetulnya aku membawa kabar baik untukmu.”
    Jantungku berhenti, ada rasa khawatir saat wanita manis itu memberikan sebuah undangan merah tua itu padaku. “Apa ini?”
    “Bulan depan, aku akan menikah,” Seketika, tawa yang pecah dari mulut Veda menghantam sudut hatiku. Luka mencair, serpihannya tercecer kemana-mana. Degup jantung ku berdebar lebih cepat saat membaca kata demi kata yang tertera disana. “Aku tidak tau apakah ini akan mengejutkan mu atau malah sebaliknya, tapi pria yang akan aku nikahi bukan Remon.”
    Aku tersentak, “Bukan Remon?”
    Dia mengangguk dengan tatapan pedih disekeliling matanya, “Kami sudah putus.”
    “Kenapa?”
    “Karena Remon hanya melihat satu wanita dalam hidupnya, dia tidak pernah benar-benar mencintaiku.”
    Aku tertegun, samar-samar kepedihan itu mengalir dimata cantik Veda.
    ***
    Aku menatap garis-garis tekun diwajah para pekerja konstruksi bangunan, sesekali melirik gedung canggih yang baru setengah jadi dihadapanku. “Gimana bu, sudah betul?” Suara Sumiarno si asisten arsitek menggema, aku menoleh mencoba mencari sosok pria tinggi itu.
    “Ah iya, Sam. Sudah sesuai kok.” Ucapku.
    “Setelah ini ibu mau kemana?” Dia masih mengekor langkahku.
    Aku tertegun sebentar lalu merogoh kunci avanza hitam di saku blazer merah muda yang sedang ku kenakan, “Tolong simpan mobil saya dirumah ya? Saya ada perlu sebentar.” Jawabku memberi pengertian padanya.
    “Ibu mau kemana? Perlu saya antarkan?”
    Aku menolak, perlahan sosok kepercayaanku itu tertelan hiruk pikuk gedung setengah jadi dibelakangku. Langkahku mulai menjejaki trotoar jalan yang menghubungkan lokasi proyek sampai halte bus didepan sana, mataku terpaku menatap layar ponsel sementara kakiku mulai terasa lemas. Setelah satu tahun Remon pergi dan tanpa kabar lagi setelahnya, akhirnya kabar darinya datang juga. Aku hampir terjatuh ketika selesai membaca sms dari pria bernama Remon itu, ku percepat langkahku dengan membawa rindu yang mulai tercecer dimana-mana.
    “Assalammualaikum.” Nafasku terengah ketika sampai didepan pintu rumah, mataku mencari-cari sosok yang sudah lama menghilang itu.
    “Ganti baju dulu.” Jelas suara ibu dari balik dapur, aku bergegas menghampiri beliau.
    “Bu, tadi ada Remon kesini?”
    “Iya, tapi tadi pamit sebentar.”
    “Kemana?”
    Ibu menggeleng, “ Kalau begitu Anne keluar dulu sebentar ya bu.” Lanjutku.
    “Mau kemana?” Aku terkejut, suara khas yang pernah hilang sekarang terdengar disudut rumahku.
    “Remon?”
    Dia tersenyum. Aku menatapnya penuh luka—antara rindu juga marah.
    ***
    Kami kembali disini, menatap rumpun ilalang lepas dihadapan kami. Pohon flamboyan yang dulu, masih setia menaungi tubuh kami dari matahari. Sudah satu tahun semenjak dia pergi, setahun juga aku tidak datang ketempat ini.
    “Kenapa gak kasih kabar?” Aku membuka percakapan kami dengan hati-hati.
    “Sibuk, terlalu sibuk tepatnya.” Suara itu menggetarkan rinduku. Aku kembali melucuti wajah tampannya, rinduku meluap bersama jutaan daun flamboyan yang meranggas.
    “Bagaimana hubunganmu dengan Veda?” Aku mencoba membuatnya bercerita, percakapan tadi malam memang mengganggu fikiranku.
    Dia tertegun, lalu tersenyum tanpa menatapku. “Sudah lama kandas.”
    “Kenapa?”
    Bola mata hitam itu bergulir menatapku, “Memangnya kenapa mau tau?”
    “Memangnya aku tidak boleh tau?” Wajahku memberengut.
    Dia tertawa melihat perubahan mimik wajahku, “Tidak ada hubungannya denganmu, jadi tidak perlu tau.”
    Aku menepis segala rasa yang pernah kufikirkan. Memang benar, dari dulu aku memang tidak pernah ada dihatinya. Tidak akan pernah ada. Lagipula, sejak kapan aku boleh berharap pada Remon? Bahkan kesempatanku berada dekat disisinya pun hanya karena kami bersahabat, aku memang terlalu naïf—kadang-kadang.
    “Jadi, kau rela melepaskan Veda untuk pria lain?” Aku menyodorkan sebuah undangan pernikahan wanita bernama Veda itu. Remon tidak sedikitpun menoleh, dia hanya mendesah berat dan berkata iya dengan tegas. “Kau jelas masih mencintainya, Remon.”
    “Tidak! Aku hanya,” Perkataannya berhenti, dia merebahkan tubuhnya pada rerumputan usang disekitar flamboyan ini. “Aku hanya merasa bersalah.”
    “Karena?”
    “Membohonginya selama bertahun-tahun. Mencintainya tanpa pernah merasakan cinta yang semestinya, dia hanya jadi korban rasa pengecut ku.”
    “Kau tau benar semua itu, namun kau tetap melakukannya?” Aku tertawa sinis.
    “Iya, aku memang pengecut, bukan?”
    Aku tersenyum, “Tidak, kau hanya belum berani menghadapi hal terpahit dalam hidupmu.”
    “Kau bahkan tidak pernah bertanya kenapa aku menjadi sangat pengecut selama ini?”
    Dahiku berkerut mendengar tanggapan pria itu, “Memang apa?”
    “Karena aku ingin membuat keadaan kita tetap normal,” Bisiknya lirih. Semilir angin memainkan detak-detak kecemasan yang meluap di jantungku. Perkataan pria itu seperti puzzle, susah di terka namun membuatku menjadi lebih ingin tau. “Seseorang pernah berkata padaku, bahwa cinta itu datang pada siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Cinta akan menggenggam mu dengan kuat dan menuntut mu berfikir cepat, begitu pula ketika aku mulai jatuh cinta pada seorang gadis periang bermata sayu. Kau tau apa yang kufikirkan saat itu?” tubuh pria itu kembali duduk, sorot matanya tajam menatap padaku.
    “Apa?” Bisikku dengan suara yang terdengar parau.
    “Bagaimana bisa aku jatuh cinta pada sahabatku sendiri? Bukankah ini konyol?”
    Seketika udara serasa tersumat di pangkal hidungku, jantungku memompa darah lebih cepat dan fikiranku seperti carut marut.
    Dia menghela nafas ketika tidak mendapati respon apapun dariku, lalu melanjutkan kalimatnya dengan lebih teratur. “Saat aku sadar tentang semua itu, aku mulai merasa takut. Jujur aku takut kau menghindar, memberi jarak yang semakin jauh untukku jika saat itu aku mengungkapkan segalanya. Maka aku memilih diam, hingga akhirnya Veda datang. Sempat aku berfikir, mungkin ini hanya perasaan sesaat yang pada akhirnya akan hilang jika aku mulai mengencani Veda. Tapi, kau tau benar itu salah. Sampai sekarang, aku tetap memandangmu,”
    Apa aku sedang bermimpi? Jika iya, maka aku ingin Tuhan membangunkanku.
    “Tapi sekarang aku tidak peduli,” Ucap Remon lagi, “Aku tidak akan menghindari kenyataan apapun.”
    Aku membuang wajah pada jutaan udara dihadapan kami. Ku atur debaran jantungku, mencoba memulihkan suaraku dan mencerna perkataan pria itu dengan kepala jernih. Aku jelas tidak sedang bermimpi, hanya saja ini semua seperti mimpi. Ketika aku mendapati segala harapanku tewujud, ketika perasaanku berbalas, ketika dia pada akhirnya mencintaiku, kalian pasti sudah bisa menebak apa yang akan aku katakan pada pria bernama Remon ini.
    “Jika saja dulu kau bisa sedikit lebih jantan, mungkin kita tidak perlu saling menyiksa diri selama ini.” Aku tersenyum, tangan kananku menggenggam jemarinya tanpa ragu. Setelah ini, aku akan membiarkan diriku berkata jujur. Aku tidak akan menutupi apapun, terlebih mengenai perasaanku pada Remon.

    SELESAI.
    Subang, 30 Januari 2011.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Intang Kartika Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei