Seolah
tau bagaimana caranya merasakan duka, angin itu buru-buru bergegas, merangkak
bersama sepi yang terjebak cakrawala. Akupun sadar bahwa tidak ada yang menang
dari perpisahan ini selain air mata jatuh lalu menyeret langkahku hingga
terseok seok ditepian lambaian tanganmu. Kaupun mungkin tidak akan paham
sepaham aku mengerti perasaan sakit akibat perpisahan, namun aku tau jika
guratan cemas dimatamu tidak akan pernah berdusta, ya aku tau jika kaupun
merasa ada yang sesaat hilang dari sisimu—sesuatu yang menguap bersama mataku
yang tak lagi menjamah siluet hitam rambutmu.
Kau
ingat? Kemarin baru saja kukatan ‘aku kembali’
lalu kupeluk satu persatu rindu, membiarkan hujan jatuh disini, mengasingkan
pertanyaan ‘kapan waktu merenggut kita lagi?’
seperti saat ini. Namun, sejauh apapun kita mengelak, Tuhan selalu tau cara
agar rencananya berjalan seirama. Kau dan aku mesti membentang jarak dan inilah
kenyataannya—tidak ada yang bisa aku ubah juga tidak ada yang dapat kau
hentikan, semuanya mengalir dinadiku juga nadimu. Takdir sudah dilempar seperti
sebuah dadu dalam permainan monopoli dan kita seperti sepasang sepatu yang
tertinggal sebelah dilemari baju, hanya menunggu saat untuk bertemu lalu
kembali berjalan menyusuri waktu.
Kau
ingat dua pertemuan singkat selepas hujan? Kau dan aku pernah ada pada satu
momen disana, merangkai hujan menjadi selimut tebal diruang tamu, menyaksikan
mendung menggumpal seperti kepulan asap pada cangkir kopi kita. Saat itu semua
seperti berjalan semestinya, tidak ada cela ataupun kekhawatiran akan
perpisahan. Pada detik itu kita hanya sama-sama tau cara menjatuhkan rindu
berbentuk domino, lalu menyusunnya kembali saat kuantar kau pulang selepas
maghrib—tentu untuk bertemu secepat mungkin. Sungguh, jika saja dapat aku
ucapkan beberapa doa—aku ingin bersamamu seperti ini tanpa harus mengurai
perpisahan lagi.
0 komentar:
Posting Komentar