Minggu, 19 Februari 2012

Tanpamu, apa jadinya aku—tanpamu.

Diposting oleh Intang Kartika di 22.30

Sinar mentari menerobos jendela besar bergorden biru cerah itu, membelai lembut udara disekitar, serta menghangatkan segala benda yang disentuhnya pagi ini. Kicau burung bersahutan, membuat bising sabtu pagi yang ringan diawal desember. Seorang pria tengah berdiri menghadap coffee maker kesayangannya, tatapannya kosong—hampa. Aroma kopi menyeruak, itu sedikit menentramkan hatinya meskipun hanya sekejap sebelum sebuah suara yang sangat familiar menyita seluruh pendengarannya. Dia berjalan dengan sangat tergesa, menyentuh ponselnya yang sedari tadi berkedip dan mengeluarkan nada-nada khas—nada ringtone yang khusus dia atur hanya untuk kekasihnya.

“Ya! Kwon Ji Yool.” Bentak pria bertubuh tinggi dan tegap bernama Choi Minho itu. Wajahnya memberengut, giginya bergemeretak menahan kemarahan yang sudah lama dipikulnya. Hatinya kacau pagi ini, sangat kacau karena wanita bernama Kwon Ji Yool—wanita kecintaannya.

Tidak ada tanggapan apapun dari sebrang ponselnya, hingga suara telepon terputus sontak membuat Minho semakin marah. Kwon Ji Yool, sudah hampir seminggu wanita itu bersikap aneh. Dia tidak mengangkat telepon Minho ketika pria itu berada di Paris untuk kepentingan pekerjaan, wanita itu juga tidak membalas satupun pesan bertubi-tubi yang dikirimkan Minho padanya. Sekarang, setelah Minho sudah berada di Korea—wanita itu tidak juga datang menemuinya. Padahal perihal kepulangan Choi Minho ini sudah menyebar luas—siapapun penikmat K-Pop pasti mengetahui ini. Sebenarnya ada apa? Minho sama sekali tidak ingat jika dia telah membuat kesalahan, bahkan sebetulnya Minho tidak merasa pernah berbuat salah.

Atau, apakah dia telah melupakan sesuatu?


Minho menghembuskan nafas kesal, ponsel berwarna hitam legam miliknya tercecer dilantai—mungkin dia melepaskan kemarahannya pada benda mungil itu. Wajah Choi Minho semakin tidak beraturan, antara kesal campur menderita karena dia tidak dapat memastikan keadaan gadisnya. Bukankah riskan jika kau harus merasakan kegelisahan sepanjang waktu—terlebih jika itu ditimbulkan oleh sesseorang yang berarti bagimu? Begitu juga dengan Choi Minho.

***

Kwon Ji Yool mendekap keningnya dengan telapak tangan sebelah kiri. Rasa panas masih menjalari tubuh mungil itu—terkena demam dimusim dingin memang sangat menyebalkan baginya, ditambah lagi suaranya menghilang dari kemarin.

Dia lagi-lagi tersenyum menatap layar ponselnya yang dipenuhi wajah pria tampan bermata bulat—Choi Minho. Fikirannya terbang, ada segudang permasalahan kecil yang perlu dia tangani—terlebih masalah “itu.”

Tubuhnya sedikit beringsut dari posisi berbaringnya, dia bangkit dengan sekali hentakan lalu memastikan panas dikeningnya sekali lagi. “Ah—bukan masalah.” Ujarnya pada diri sendiri. Lalu, satu persatu langkahnya mulai menuju dapur. Dia mengambil beberapa buah dan roti dari lemari es, setelah itu memandangi benda-benda dihadapannya dengan tatapan kosong. Air mata mengalir, seperti hujan salju yang turun menjamahi kaca jendelanya.

Entah rasa apa yang kini berkecambuk difikirannya, rindu, bersalah, marah, curiga, atau takut. Gadis itu sama sekali tidak tau, yang jelas Choi Minho lah titik permasalahan dari semua ini—ya, memang Choi Minho lah penyebabnya.

***

Choi Minho tercenung menatap partitur-partitur yang tersusun rapi diatas piano miliknya. Dia sama sekali tidak tau apa yang harus diperbuat setelah kopi hitam dicangkir itu lenyap—sama sekali tidak tau. Dia sangat gelisah, terlebih karena kekosongan menyerangnya begitu saja setelah gadis itu menghindar. Dia terlalu takut—takut tidak mampu lagi berdiri jika Ji Yool benar-benar memutuskan pergi dari hidupnya—dari sisinya. Karena menurut pria itu, se-bahagia apapun hidupnya nanti—tanpa Ji Yool dia akan tetap merasa sia-sia, kesepian, merasa menjadi pecundang dan seperti sampah. Wanita itu memang telah menjadi bagian dari hidup Choi Minho, bagian yang teramat penting untuk dirinya. Kwon Ji Yool telah mencandui Minho dengan senyumnya yang magis dan pada dasarnya wanita itu benar-benar berharga bagi Minho.

***

Ji Yool mulai mengenakan mantel dan mengunci pintu. Udara menusuk syaraf-syarafnya dan melahirkan rasa dingin yang teramat riskan untuk dia rasakan. Dia berjalan, menguatkan dirinya untuk tetap menatap cahaya matahari pagi ini. Seoul masih diguyur hujan salju, tapi apa boleh buat—dia harus sesegera mungkin menyelesaikan permasalahan “itu.”

Dia berbelok, menyusuri anak tangga dan berdiri pada sebuah pintu. Nafas dihamburkannya keluar secara bertubi-tubi—mungkin dia kelelahan. Jarinya gemetar, dia membasahi bibirnya terlalu sering dan menatap pintu dihadapannya dengan hati gamang.

***

Ini sudah cangkir kedua untuk kopi pagi Minho, namun pria itu masih belum merasa membaik. Jarinya diketukan dengan ringan diatas paha, dahi pria itu berkerut—dia berfikir terlalu keras hingga raut wajahnya tampak begitu mengerikan. Apa yang perlu diperbuatnya? Pria itu justru bertanya hal sama pada dirinya sendiri. Jujur saja, dia ingin sekali berlari mencari gadis itu, melepaskan rindunya dan segala hal yang mengganggu dalam fikirannya—hanya saja ketakutan menelusup. Fikiran-fikiran negativ menghatuinya akhir-akhir ini, bagaimana jika Ji Yool merasa bosan padanya?
Pria itu mengerang.

***

Ji Yool berdiri diambang pintu bercat coklat tua dengan nomor 233 berwarna emas. Dia sedikit ragu ketika akan menekan bel, matanya melirik sebuah kunci dalam genggamannya yang tentu saja akan cocok untuk membuka pintu tersebut—namun dia mengurungkan niat semula. Gadis itu masih mematung, sementara dia merasakan tubuhnya begitu lemah karena demam tinggi yang belum juga turun. Sebersit perasaan rindu menghujam hatinya, pria itu apakah ada disana?

Dia tetap bergeming. Menghujam tatapannya pada tanah yang dipijak dan berfikir. Haruskah? Haruskah dia muncul dihadapan pria itu dan memeluknya? Mengatakan hal-hal yang seharusnya dia katakan dan mengucapkan kalimat penyesalan?

***

Minho mengambil mantel yang tergantung dengan kasar. Langkahnya terburu-buru menuju pintu. Dalam fikirannya dia berkata, apapun yang akan terjadi dia harus menemui gadis itu.

Handle pintu sudah digenggamnya, namun dia mengurungkan niat. Dia tercenung cukup lama, hatinya masih ciut—dia tidak punya nyali untuk menghadapi kenyataan pahit nanti. Akhirnya Minho mengukuhkan niat, dia memutar handle pintu dan menariknya dengan tenaga yang berlebihan. Lalu dia berhenti, takjub memandang siapa yang tengah berdiri dan tersenyum dibalik pintu rumahnya.

Gadis itu ada disana, mendekap sebuah mawar merah. Dia tersenyum dengan anggun dan mencoba mengeluarkan suara yang lirih serta parau, “Selamat ulang tahun jagiya. Maaf aku menghindari mu selama ini, aku hanya ingin kau merasakan sedikit guncangan kecil sebelum pada akhirnya kau akan mendapatkan kebahagiaan yang semestinya kau dapatkan. Sekali lagi, selamat ulang tahun.”

Minho bergeming, dia masih mencerna segala kalimat yang baru saja didengarnya. “Jadi, selama ini kau membodohiku?”

Gadis itu tersenyum—senyum manis yang membuat Minho selalu ingin melihatnya.

“Kau jahat, Ji Yool,” Ucap Minho, dia meraih gadisnya dan mendekap Ji Yool erat, menghiraukan ratusan kelopak mawar yang tersia-siakan dilantai. Ada perasaan lega menjalari Minho, rasa itu menelusup melewati punggungnya lalu terus merambat ke hatinya dan jatuh pada kecupan dalam Minho untuk gadis bernama Kwon Ji Yool—gadis kecintaannya. “Terimakasih, Ji Yool-aa.”

Tanpamu, apa jadinya aku—tanpamu.

Subang, 20 Februari 2012 



0 komentar:

Posting Komentar

 

Intang Kartika Copyright © 2010 Design by Ipietoon Blogger Template Graphic from Enakei