Sinar mentari menerobos jendela besar bergorden biru cerah itu,
membelai lembut udara disekitar, serta menghangatkan segala benda yang
disentuhnya pagi ini. Kicau burung bersahutan, membuat bising sabtu pagi
yang ringan diawal desember. Seorang pria tengah berdiri menghadap
coffee maker kesayangannya, tatapannya kosong—hampa. Aroma kopi
menyeruak, itu sedikit menentramkan hatinya meskipun hanya sekejap
sebelum sebuah suara yang sangat familiar menyita seluruh
pendengarannya. Dia berjalan dengan sangat tergesa, menyentuh ponselnya
yang sedari tadi berkedip dan mengeluarkan nada-nada khas—nada ringtone
yang khusus dia atur hanya untuk kekasihnya.
“Ya! Kwon Ji
Yool.” Bentak pria bertubuh tinggi dan tegap bernama Choi Minho itu.
Wajahnya memberengut, giginya bergemeretak menahan kemarahan yang sudah
lama dipikulnya. Hatinya kacau pagi ini, sangat kacau karena wanita
bernama Kwon Ji Yool—wanita kecintaannya.
Tidak ada
tanggapan apapun dari sebrang ponselnya, hingga suara telepon terputus
sontak membuat Minho semakin marah. Kwon Ji Yool, sudah hampir seminggu
wanita itu bersikap aneh. Dia tidak mengangkat telepon Minho ketika pria
itu berada di Paris untuk kepentingan pekerjaan, wanita itu juga tidak
membalas satupun pesan bertubi-tubi yang dikirimkan Minho padanya.
Sekarang, setelah Minho sudah berada di Korea—wanita itu tidak juga
datang menemuinya. Padahal perihal kepulangan Choi Minho ini sudah
menyebar luas—siapapun penikmat K-Pop pasti mengetahui ini. Sebenarnya
ada apa? Minho sama sekali tidak ingat jika dia telah membuat kesalahan,
bahkan sebetulnya Minho tidak merasa pernah berbuat salah.
Atau, apakah dia telah melupakan sesuatu?
Minho
menghembuskan nafas kesal, ponsel berwarna hitam legam miliknya
tercecer dilantai—mungkin dia melepaskan kemarahannya pada benda mungil
itu. Wajah Choi Minho semakin tidak beraturan, antara kesal campur
menderita karena dia tidak dapat memastikan keadaan gadisnya. Bukankah
riskan jika kau harus merasakan kegelisahan sepanjang waktu—terlebih
jika itu ditimbulkan oleh sesseorang yang berarti bagimu? Begitu juga
dengan Choi Minho.
***
Kwon Ji Yool mendekap
keningnya dengan telapak tangan sebelah kiri. Rasa panas masih
menjalari tubuh mungil itu—terkena demam dimusim dingin memang sangat
menyebalkan baginya, ditambah lagi suaranya menghilang dari kemarin.
Dia
lagi-lagi tersenyum menatap layar ponselnya yang dipenuhi wajah pria
tampan bermata bulat—Choi Minho. Fikirannya terbang, ada segudang
permasalahan kecil yang perlu dia tangani—terlebih masalah “itu.”
Tubuhnya
sedikit beringsut dari posisi berbaringnya, dia bangkit dengan sekali
hentakan lalu memastikan panas dikeningnya sekali lagi. “Ah—bukan
masalah.” Ujarnya pada diri sendiri. Lalu, satu persatu langkahnya mulai
menuju dapur. Dia mengambil beberapa buah dan roti dari lemari es,
setelah itu memandangi benda-benda dihadapannya dengan tatapan kosong.
Air mata mengalir, seperti hujan salju yang turun menjamahi kaca
jendelanya.
Entah rasa apa yang kini berkecambuk
difikirannya, rindu, bersalah, marah, curiga, atau takut. Gadis itu sama
sekali tidak tau, yang jelas Choi Minho lah titik permasalahan dari
semua ini—ya, memang Choi Minho lah penyebabnya.
***
Choi
Minho tercenung menatap partitur-partitur yang tersusun rapi diatas
piano miliknya. Dia sama sekali tidak tau apa yang harus diperbuat
setelah kopi hitam dicangkir itu lenyap—sama sekali tidak tau. Dia
sangat gelisah, terlebih karena kekosongan menyerangnya begitu saja
setelah gadis itu menghindar. Dia terlalu takut—takut tidak mampu lagi
berdiri jika Ji Yool benar-benar memutuskan pergi dari hidupnya—dari
sisinya. Karena menurut pria itu, se-bahagia apapun hidupnya nanti—tanpa
Ji Yool dia akan tetap merasa sia-sia, kesepian, merasa menjadi
pecundang dan seperti sampah. Wanita itu memang telah menjadi bagian
dari hidup Choi Minho, bagian yang teramat penting untuk dirinya. Kwon
Ji Yool telah mencandui Minho dengan senyumnya yang magis dan pada
dasarnya wanita itu benar-benar berharga bagi Minho.
***
Ji
Yool mulai mengenakan mantel dan mengunci pintu. Udara menusuk
syaraf-syarafnya dan melahirkan rasa dingin yang teramat riskan untuk
dia rasakan. Dia berjalan, menguatkan dirinya untuk tetap menatap cahaya
matahari pagi ini. Seoul masih diguyur hujan salju, tapi apa boleh
buat—dia harus sesegera mungkin menyelesaikan permasalahan “itu.”
Dia
berbelok, menyusuri anak tangga dan berdiri pada sebuah pintu. Nafas
dihamburkannya keluar secara bertubi-tubi—mungkin dia kelelahan. Jarinya
gemetar, dia membasahi bibirnya terlalu sering dan menatap pintu
dihadapannya dengan hati gamang.
***
Ini
sudah cangkir kedua untuk kopi pagi Minho, namun pria itu masih belum
merasa membaik. Jarinya diketukan dengan ringan diatas paha, dahi pria
itu berkerut—dia berfikir terlalu keras hingga raut wajahnya tampak
begitu mengerikan. Apa yang perlu diperbuatnya? Pria itu justru
bertanya hal sama pada dirinya sendiri. Jujur saja, dia ingin sekali
berlari mencari gadis itu, melepaskan rindunya dan segala hal yang
mengganggu dalam fikirannya—hanya saja ketakutan menelusup.
Fikiran-fikiran negativ menghatuinya akhir-akhir ini, bagaimana jika Ji Yool merasa bosan padanya?
Pria itu mengerang.
***
Ji
Yool berdiri diambang pintu bercat coklat tua dengan nomor 233 berwarna
emas. Dia sedikit ragu ketika akan menekan bel, matanya melirik sebuah
kunci dalam genggamannya yang tentu saja akan cocok untuk membuka pintu
tersebut—namun dia mengurungkan niat semula. Gadis itu masih mematung,
sementara dia merasakan tubuhnya begitu lemah karena demam tinggi yang
belum juga turun. Sebersit perasaan rindu menghujam hatinya, pria itu apakah ada disana?
Dia tetap bergeming. Menghujam tatapannya pada tanah yang dipijak dan berfikir. Haruskah?
Haruskah dia muncul dihadapan pria itu dan memeluknya? Mengatakan
hal-hal yang seharusnya dia katakan dan mengucapkan kalimat penyesalan?
***
Minho mengambil mantel yang tergantung dengan kasar. Langkahnya terburu-buru menuju pintu. Dalam fikirannya dia berkata, apapun yang akan terjadi dia harus menemui gadis itu.
Handle
pintu sudah digenggamnya, namun dia mengurungkan niat. Dia tercenung
cukup lama, hatinya masih ciut—dia tidak punya nyali untuk menghadapi
kenyataan pahit nanti. Akhirnya Minho mengukuhkan niat, dia memutar
handle pintu dan menariknya dengan tenaga yang berlebihan. Lalu dia
berhenti, takjub memandang siapa yang tengah berdiri dan tersenyum
dibalik pintu rumahnya.
Gadis itu ada disana, mendekap
sebuah mawar merah. Dia tersenyum dengan anggun dan mencoba mengeluarkan
suara yang lirih serta parau, “Selamat ulang tahun jagiya. Maaf aku
menghindari mu selama ini, aku hanya ingin kau merasakan sedikit
guncangan kecil sebelum pada akhirnya kau akan mendapatkan kebahagiaan
yang semestinya kau dapatkan. Sekali lagi, selamat ulang tahun.”
Minho bergeming, dia masih mencerna segala kalimat yang baru saja didengarnya. “Jadi, selama ini kau membodohiku?”
Gadis itu tersenyum—senyum manis yang membuat Minho selalu ingin melihatnya.
“Kau
jahat, Ji Yool,” Ucap Minho, dia meraih gadisnya dan mendekap Ji Yool
erat, menghiraukan ratusan kelopak mawar yang tersia-siakan dilantai.
Ada perasaan lega menjalari Minho, rasa itu menelusup melewati
punggungnya lalu terus merambat ke hatinya dan jatuh pada kecupan dalam
Minho untuk gadis bernama Kwon Ji Yool—gadis kecintaannya. “Terimakasih, Ji Yool-aa.”
Tanpamu, apa jadinya aku—tanpamu.
Subang, 20 Februari 2012
Minggu, 19 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

0 komentar:
Posting Komentar